Hembusan angin yang menerpa kulit masih terasa dingin. Cahaya lampu disetiap rumah warga satu persatu mulai menghentikan cahaya. Kicauan ayam jantan saling sahutan disana sini seakan ingin menunjukan suara siapa yang paling mengesankan. Satu dua warga dari kejauhan pun terlihat sibuk menuruni anak tangga pemandian, mempersiapkan sampan untuk keladang.
“Kau belum turun mandi, Hamid ? “ suara Emak terdengar melangkah keluar dari dalam rumah. Ditangannya terlihat bungkusan untuk bekalan keladang.
“Masih dingin Mak”. aku menjawab dengan nada melas. “ Emak sudah mau berangkat?” aku langsung mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin mamak menyuruhku untuk mandi yang kedua kalinya.
“Sebentar lagi, masih menunggu Uwak mu ganti pakaian” mama langsung melangkah masuk kedalam. Seketika badan Emak langsung hilang dari balik pintu.
Uwak merupakan panggilan seorang ayah yang biasa digunakan dimasyarakat kami. dari seluruh penduduk dikampungku, hampir semuanya merupakan keturunan Bugis. Kami tidak tinggal di pulau Sulawesi melainkan nenek moyang kami merupakan perantau dan menetap di pulau Kalimantan ini semenjak zaman kerajaan.
Aku langsung mengambil keranjang sabun, menuruni anak tangga dan melangkah menuju parit. Air ditempatku tidaklah jernih seperti air dikota atau di daerah sekitar perbukitan. Melainkan berwarna kuning kemerahan dikarenakan kondisi tanah kami yang merupakan tanah gambut. Aku mencelupkan separuh kaki ku didalam parit. Dikarenakan hujan tadi malam yang berkepanjangan, air parit lebih terasa dingin dari pada biasanya. satu dua melaju sampan dihadapan ku. Segelintir orang yang berada didalam sampan berteriak menyuruhku untuk langsung terjun kedalam parit, biar airnya tidak semakin terasa dingin katanya.
***
Semua perlengkapan untuk keperluan sekolah telah siap semenjak tadi malam. Ibu membiasakan dan selalu mengingatkanku untuk mempersiapkan segala perlengkapan lebih awal. Tugas matematika yang diberikan guruku telah aku kerjakan dengan tuntas. Seragam sekolah telah terpasang rapi walaupun tanpa dasi dan topi. Akupun bergegas pergi berangkat kesekolah menyeberangi jembatan diatas parit yang cukup tinggi. Kuarahkan pandanganku di jalan setapak hingga ujungnya, masih terlihat lengang oleh teman-temanku yang berangkat kesekolah. Aku pun terus melajukan langkahku biar bisa datang lebih dahulu dari yang lainnya.
“Mid, tunggu aku” suara teriakan dari arah belakangku. Aku menoleh dan ternyata adalah Rohim, teman sebangku disekolah.
“Ayo Rohim. Lebih cepat larinya”. Aku tertawa melihat dia yang berlari menyusulku sambil membawa seikat rambutan.
“Kau tidak meneriak diriku ketika lewat didepan rumah”. Rohim langsung bertanya ketika langkahnya mulai sejajar denganku. “Dan kau kelihatannya terlihat sangat tergesa-gesa”.
Aku memilih tidak menjawab. Hanya tersenyum ketika aku menoleh kepadanya. Biasanya setiap pagi kami memang selalu berangkat bersama dan dia selalu siap menunggu di teras rumah. Aku mengambil dua buah rambutan yang bergantung ditangannya. Dia memang sering membawa buah ketika sedang ada musimnya. Pernah saat itu dia membawah buah durian yang telah dibuang kulitnya. Satu kelas kami pun berubah menjadi seperti kebun durian yang dipenuhi aroma yang menyengat.
“Kau belum menjawab pertanyaanku Mid. Dan malahan kau sudah memetik buah rambutanku” Rohim berseru dengan agak sedikit jengkel.
“Aku hanya ingin datang lebih awal membawa kue nek Ambi biar habis lebih cepat. Aku pun mengira kau telah berangkat kesekolah dan biasanya kau selalu menungguku di teras” aku pun menjelaskan padanya.
“Bukankah kau bisa berhenti sebentar untuk meneriakiku dan menunggu. Kurang lebih hanya tiga menit, Hamid. Tidak lama bukan?“. Rohim masih melanjutkan pertanyaannya.
“Bukankah sudah kukatakan aku ingin datang lebih cepat. Tiga menit itu juga waktu. Bayangkan saja jika dalam tiga menit tersebut, kue ku bisa laku lima buah”. Aku menghentikan langkahku sejenak dan berharap agar Rohim tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Kami pun melanjutkan kembali langkah yang sempat terhenti. Rohim yang disampingku dengan banyak pertanyaan sekarang lebih memilih untuk diam dan menikmati buah rambutan yang dibawanya. Sesekali ia merintih gara-gara rambutan yang dimakannya juga terikut semut.
Udara dikampungku sungguh terasa sangat segar. Kampung yang terletak jauh dari hiruk pikuk perkotaan membuat segala aktifitas terasa nyaman disini. Disepanjang jalan, kiri kanan kami berbaris rapi pohon kelapa yang menjulang tinggi dan berbuah lebat. Pohon kelapa tersebut akan segera dipanjat apabila buahnya sudah bisa menghasilkan santan. Sesekali terlihat tupai yang meloncat dari dahan satu kedahan yang lainnya.
“Coba kau perhatikan itu Hamid”. Rohim menepuk pundakku dan mengarahkan telunjuknya ke induk ayam yang berwarna hitam beserta anaknya.
Aku mengarahkan pandanganku kearah ayam tersebut. “Oi, enak sekali jika ayam itu jika di goreng. Begitu jugakah maksudmu Rohim?” Aku bertanya kepada Rohim yang sibuk memperhatikan ayam.
Rohim menoleh kepadaku .“Bukan itu maksudku. Coba kau perhatikan lagi. Aku sungguh kagum dengan perangai si ayam tersebut”.
Aku heran dengan tingkahlaku si Rohim yang mengagumi ayam tersebut. Bukankah ayam tersebut suatu saat di potong, lalu di goreng atau dimasak rendang. “Dia bukan bintang sepak bola yang mudah memasukkan bola kegawang lawannya, Rohim. Dia juga bukan seperti artis di televisi yang memainkan sebuah drama. Dia hanya seekor ayam”. Aku melanjutkan pembicaraan.
“Ayam ini memiliki perangai yang unik Hamid. Coba kau perhatikan. Dia bangun untuk mencari makan lebih awal sebelum matahari memanasi bumi. Bahkan ayam juga yang membangunkan kita dengan suara kokokannya disubuh hari. Dan lihat juga, semua anaknya yang masih kecil saja sudah di bawa untuk mencari makan. Unik kan?”. Rohim menjelaskanku dengan tegas.
Aku tidak menyangka Rohim bisa berfikir seperti itu. Aku tertegun dan melihat lebih lamat kearah ayam tersebut.
“Induk ayam ini membawa anaknya saat dari kecil, Hamid. Bukankah dia bisa saja meninggalkan anaknya dikandang dan mencari makan untuk anaknya sendirian. Tapi itu tidak mungkin dia lakukan. Ia membiasakan anak-anaknya untuk mencari makan bersama-sama. Lihat, separuh anaknya meniruh tingkah laku induknya. Mengaiskan kakinya ketanah dan berharap ada makanan disana.” Rohim melangkahkan kakinya dan mengajakku untuk melanjutkan perjalanan.
“Kau hebat Rohim. Kau bisa memperhatikan sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kita. Dan kau juga bisa mengambil pelajaran dari hal tersebut. Kau layak mendapatkan dua jempolku.” Kuarahkan jempol tanganku padanya sebagai apresiasi.
“Kita harus bisa membaca dan bersahabat dengan alam, Hamid. Banyak hal-hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dari sesuatu yang terjadi disekitar kita. Contohnya saja ayam tadi. Dia mengajari kita bagaimana induk ayam tersebut mengajarkan kepada anaknya untuk bertahan hidup. Hal itu selalu dilakukan induk ayam tersebut hingga terbentuklah kepribadian dari anak-anaknya. Tinggal bagaimana saja kita dapat menerapkannya di dalam kehidupan”.
Aku mendengarkan dengan takzim atas penjelasan Rohim. Seketika aku langsung teringat dengan Mamak. Ternyata selama ini yang dilakukan Mamak kepadaku juga demi kebaikanku kedepannya. Mamak selalu mengingatkanku untuk selalu disiplin waktu, entah itu mandi lebih awal atau mengurus segala keperluan perlengkapan sekolah. Sekali lagi, Semua itu dilakukan Mamak karena ingin membiasakan dan menumbuhkan kepribadian ku seperti hal yang dilakukan induk ayam tadi.
“Duh, kakiku “. Suara jeritan Rohim
“Kenapa Him? Aku bertanya sambil tertawa. Padahal aku sudah tahu bahwa kaki sebelah kirinya tersandung dikayu jembatan. Kaki tersandung adalah hal yang sudah biasa bagi kami. Lihatlah kaki kami yang tidak menggunakan alas apapun. Berbeda jauh dengan mereka yang bersekolah dikota, menggunakan sepatu dan berseragam lengkap bahkan diantar orang tua. menggunakan sepatu oleh teman-teman dikampung kami masih jarang, paling hanya bagi mereka yang memiliki rezeki lebih.
“Kau tak perlu bertanya lagi, Hamid”. Jawab Rohim dengan nada jengkel. “Kau sudah melihatnya tadi dan bahkan kau sambil tertawa ketika bertanya. Kau sepertinya senang ketika kakiku tersandung kayu jembatan ini”.
Dikampungku, setiap kepemilikan kebun itu dipisahkan oleh parit-parit kecil. Tidak hanya berfungsi sebagai pembatas antar kebun saja melainkan parit tersebut juga sebagai jalur untuk mengeluarkan hasil panen dari dalam kebun. Jadi jangan heran apabila setiap perjalanan 30 meter selalu ada jembatan kecil yang harus diseberangi.
Aku menghentikan tawaku ketika sudah di depan rumah Nek Ambi. “Kau tunggu disini dulu, aku singgah sebentar mengambil kue jualan ku”.
Rohim terlihat mengangguk. Tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Aku melangkah dan menaiki anak tangga yang berjumlah sekitar lima belas tingkat. Bentuk rumah nek Ambi adalah rumah panggung, yang tinggi tiang penyanggahnya sekitar dua meter. Diteras rumah sudah berdiri nek Ambi sambil membawa bungkusan yang berisi kue jualanku. Dari jualan kue inilah, aku bisa memperoleh uang jajan dan membeli kue yang aku inginkan. Aku menolak setiap mamak ingin memberikan uang jajan dan aku selalu berkata ‘lebih baik uang itu disimpan untuk menambah keperluan dapur. Lagi pula, uang hasil jualan kue nek Ambi yang lalu masih ada’. Aku benar-benar tahu bagaimana susahnya mencari uang dan aku tidak ingin membebani orang tua ku dengan menerima uang jajan setiap berangkat kesekolah. Terkecuali hal yang mendesak.
Mamak juga sempat melarangku untuk berjualan kue disekolah karena takut hal tersebut bisa mengganggu kegiatan belajarku. Aku menjelaskan bahwa aku hanya menggunakan waktu sebelum proses belajar dimulai dan disaat waktu istirahat. Selebihnya jika aku beruntung, jualan kueku bisa habis sebelum proses belajar dimulai. Aku dan Rohim melanjutkan kembali perjalanan. Semoga saja jualan kueku hari ini bisa lebih cepat habis.
EmoticonEmoticon