Suara riuh terdengar dari arah meja makan kami. Suara tawa dan kadang disertai teriakan teman memenuhi langit-langit kafé. Wajar saja, sudah tiga tahun semenjak kami lulus dari SMA belum pernah sekalipun bertemu seperti ini. Semua pada sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang melanjutkan kuliah, ada yang merantau kenegeri orang untuk berkerja dan bahkan ada yang melanjutkan pernikahan.
Banyak hal yang berubah drastis setelah lama tidak bertemu. Aku perhatikan satu persatu temanku tanpa mereka sadari. Arif namanya, dulu sangat dekil dan rambut tidak pernah disisir, sekarang terlihat lebih rapi dan bisa menjaga penampilan. Erwin yang dulu kurus, sekarang lebih gemuk dan hampir saja aku tidak kenali. Dian yang saat SMA di panggil badak kerena tubuhnya yang gemuk dan untuk berjalan pun terlihat susah, sekarang terlihat lebih seksi. Entah program apa yang dilakaukannya selama tiga tahun belakangan ini, yang pastinya perubahannya 180 derajat. Dewi alias mantanku saat dulu, sekarang makin terlihat ayu dan senyumnya semakin aduhai. Rasanya tidang sanggup jika selalu berhadapan dengannya. Dan masih banyak lagi perubahan pada temanku yang lainnya.
“Kau terlihat jauh lebih menarik Dian. Jauh dari yang aku duga. Dulu kau seperti badak dan sekarang kau malahan seperti kelinci imut yang ingin aku peluk.” Ucap Erwin sambil tertawa dan mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya.
Dian langsung merespon apa yang diucapkan Erwin. “Dan kau juga Erwin, sungguh sangat lucu dibandingkan dulu. Dulu jika kau dipeluk mungkin hanya seperti memeluk tiang listrik dan dicubit hanya terasa tulang. Sekarang kau telah berubah menjadi seperti beruang yang imut. Sini, peluk aku. Seratus cubitan telah siap untuk kamu. Ayo beruang imut, kemari…” Dian tertawa sambil menunjukkan tangan yang telah siap untuk mencubit.
Langit-langit rumah makan kembali dipenuhi suara tawa. Hal seperti ini sudah biasa kami lakukan saat masa sekolah. Entah itu menyindir, mengejek atau malahan memaki. Bagi kami, semua itu kami anggap hanya sebagai gurauan.
“Kau masih ingat dengan Fitri, tetangga kelas kita?” Dian bertanya dan memandang kami dengan serius layaknya seperti seorang motivator.
“Fitri yang manis itu?” Arif langsung bertanya dan matanya langsung terarah ke Dian. Tidak hanya Arif, teman yang lain juga langsung mengarahkan pandangan ke arah Dian dan memasang wajah dengan ekspresi bertanya. Untuk apa pula tiba-tiba membicarakan Fitri yang tidak ada hubungan dengan acara reunian ini.
“Oi, cewek seperti itu kau bilang manis. Kau tidak lihat disini, masih banyak yang lebih cantik. Contohnya aku dan Dewi.” Yuni langsung merespon kata Arif dan mulai lagi memuji dirinya untuk dijadikan lelucon.
“Ada apa dengan fitri, Dian. Ayo jelaskan.” Dewi langsung bertanya kepada Dian. Terlihat dari ekspresi wajahnya sangat ingin tahu.
“Begini, sekitar dua bulan yang lalu aku membaca status Fitri di facebook. Di statusnya berisikan kata-kata bahwa dia putus dengan Amir, pacar lamanya.” Dian menjelaskan sambil meminum teh es yang baru saja datang.
“Terus?” Arif langsung bertanya. Dan memperhatikan dengan seksama seperti menonton adegan tinju.
“Terus apanya Rif?“ Dian bertanya.
“Maksud aku kelanjutannya dan bagaimana mereka bisa putus.” Arif mempertegas pertanyaanya.
Ternyata Arif juga sangat tertarik dengan pembicaraan ini. Apalagi topik yang di bicarakan adalah Fitri, wanita yang pernah disukainya saat masa SMA. Aku masih ingat, bagaimana usaha Arif untuk mendekati Fitri. Hampir setiap hari selalu mengirimkan surat dengan kata-kata seperti penyair cinta. Namun semua yang dilakukan hanyalah sia-sia tanpa ada balasan surat dari Fitri
“Kita beralih kepembicaraan yang lain saja. Tidak baik jika kita membicarakan hal orang lain yang tidak ada disini”. Aku langsung memotong sebelum Dian melanjutkan pembicaraan. Berharap agar pembicaraan beralih ke topik yang lain. Sungguh, aku merasa tidak enak jika topik pembicaraan adalah Fitri.
“Kau hanya tinggal mendengarkan saja, Jaka. Jika kau tidak suka mendengarnya, harap untuk diam dan tidak perlu berkomentar. Lagi pula Fitri bukan siapa-siapa kau.” Dian berkata dengan suara agak kesal kearahku.
Selanjutnya aku hanya banyak terdiam. Kadang aku juga ikut tertawa, berpura-pura ikut peduli terhadap apa yang mereka bicarakan. Membicarakan hal orang lain adalah hal yang sudah biasa saat kami sekolah. Selalu saja ada topik pembicaraan yang dibawakan oleh Dian dan kami menjulukinya sebagai ratu gosip. Aku kira dengan bertambahnya usia juga akan merubah sikap mereka menjadi lebih dewasa. Ternyata tidak. Mereka masih setia menjadi pengikut dan diperbudak oleh gosip alias gosip lovers.
“Kalian pasti belum tahu mengapa mereka putus.” Dian melanjutkan pembicaraan berkata layaknya seperti host di dalam televisi. “Mereka putus karena Fitri ketahuan selingkuh. Begitulah kalau didalam cinta adanya penghianatan, ujung-ujungnya kandas. Walaupun telah menjalin hubungan lebih lama.” Dian melanjutkan pembicaraanya.
Aku langsung tersedak minuman ketika mendengarkan hal tersebut. Bagaimana mungkin Dian bisa langung menghakimi Fitri jika mendapatkan informasi hanya melalui celotehan di facabook. Aku menoleh kearah belakang dan melihat pelayan kafe sudah membawakan makanan kami. Syukurlah makanan telah tiba dan setidaknya teman-teman akan lebih sibuk dengan menikmati makanan yang dihidangkan.
EmoticonEmoticon