Dahulu kala, di salah satu kampung didaerah Gunung Bawang yang ada di Kalimantan Barat, tinggallah seorang janda beranak satu yang bernama Mak Ngah. Wanita bersahaja itu memiliki anak perempuan berparas cantik jelita yang bernama Maniamas. Maniamas merupakan kembang kampung disana dan sering menjadi buah bibir orang-orang karena kecantikannya.
Di rumah mereka yang sederhana juga tinggal dua orang pemuda. Keduanya adalah keponakan Mak Ngah, yang masing-masing bernama Gurete dan Ranto. Kedua pemuda bersaudara itu adalah anak dari kakak tertua Mak Ngah. Sehari-hari mereka hidup dari hasil berladang dan kebun getah peninggalan suami Mak Ngah.
Pada suatu hari, disekitar Gunung Bawang terjadi peristiwa yang sangat memalukan. Seorang laki-laki dari kampung Ngayo bernama Mamo melakukan perbuatan tercela di Gunung Bawang. Hal itu membuat nama kampung tersebut tercemar dan mendapat malu. Para pemuda di Kampung Bawang menjadi marah dan kemudian sepakat mencari keberadaan Mamo.
Para pemuda di Kampung Bawang kemudian memutuskan berangkat beramai-ramai mencari Mamo. Rencananya Gurete juga ikut serta dalam rombongan pencari. Tapi adiknya, Ranto, tidak ikut mencari dengan alasan sakit. Padahal sebenarnya itu hanya akal-akalannya saja, karena sebenarnya Ranto punya rencana lain, pemuda itu jatuh cinta pada Maniamas. Pikir Ranto, ini adalah kesempatannya untuk memadu kasih dengan Maniamas.
“Maniamas, aku tidak ikut mencari Mamo, sebab aku tak sanggup berpisah denganmu. Ini adalah kesempatan kita untuk memadu kasih, berdua-duaan tanpa ada yang mengganggu. Lagi pula, siapa yang akan menjagamu dan Mak Ngah.” Ujar Ranto pada Maniamas.
“Tapi, apa Bang Gurete mengetahui hal itu?” Tanya Maniamas berbalut ragu.
“Nanti aku akan bilang pada Bang Gurete alasan kenapa aku tidak ikut.” Jawab Ranto.
Ranto lantas menemui Gurete dan berkata. “Bang, sepertinya aku tidak bisa ikut mencari Mamo. Karena diriku sedang tidak enak badan.” Ujar Ranto sambil terbatuk-batuk.
Gurete menatap adiknya penuh pengertian. “Baiklah. Tapi selama aku pergi, kamu harus menjaga Mak Ngah dan Maniamas. Urus mereka dengan sebaik-baiknya.” Pesan Gurete.
“Baik. Aku akan menjaga mereka selama Abang pergi.” Janji Ranto.
***
Setelah sekian lama mencari keberadaan Mamo, Gurete yang ikut didalam rombongan tak kedengaran lagi kabarnya. Namun, setahun kemudian Gurete tiba-tiba pulang. Tapi dia heran. Ketika masuk kedalam rumah Mak Ngah dia mencium ada ketidakberesan yang terjadi.
“Mak Ngah, apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang tidak beres kudengar yang terjadi dirumah kita ini.” Tanya Gurete pada Mak Ngah dengan sejuta heran.
“Apa yang hendak dikata, Gurete. Adikmu Maniamas dan Ranto memadu kasih.” Jelas Mak Ngah dengan wajah muram.
“Memadu kasih seperti apa Mak Ngah? Tanya Gurete berang.
“Seperti sepasang kekasih. Mesti mereka tak melanggar batas norma sosial yang ada tapi hal tersebut dilarang, mengingat mereka adalah bersaudara.” Jawab Mak Ngah sedih.
“Kemana mereka sekarang, Mak Ngah?” Tanya Gurete lagi dengan nada tinggi.
“Mereka sekarang berada di ladang.” Jelas Mak Ngah.
Mendengar itu Gurete semakin naik pitam. Setelah minta izin sama Mak Ngah, dia pun segera menyusul mereka ke ladang. Dia mau memberi pelajaran pada Ranto dan Maniamas yang telah berbuat ulah hingga membuat malu keluarga.
Ketika mengetahui kedatangan Gurete, diam-diam Ranto pun melarikan diri entah kemana. Sedangkan Maniamas lari menuju kearah Selatan Gunung Bawang hingga Gurete tak berhasil menemukan keduanya.
Setelah berlari sejauh mungkin, Maniamas pun sampai disuatu tempat, dibawah pohon besar dan rindang. Disanalah dia kemudian bermukim. Anehnya, walau tak pernah melakukan perbuatan terlarang dengan Ranto, namun hari demi hari perutnya kian membesar seperti orang yang lagi mengandung. Maniamas merasa panik. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian, di dalam hutan itu Maniamas pun melahirkan. Tapi ajaibnya, bukan seorang anak yang dilahirkannya melainkan sebuah keris. Namun keris itu sepertinya bukan sembarang keris karena berprilaku layaknya anak manusia. Keris itu lincah dan dapat bergerak kesana kemari. Naik turun diatas pohon kayu, melompat dari pohon satu ke pohon yang lain dan sesekali juga menangis.
Dalam hati Maniamas berkata, bahwa bayinya yang berbentuk sebilah keris itu tentulah akan menyusahkan dirinya kelak. Melihat itu, Maniamas bertekad meninggalkan anak kerisnya, pergi dari sana dengan tujuan yang tak tentu arah. Si keris yang tak tahu kemana ibunya pergi mencari keberadaan sang ibu kesana kemari, namun tidak ketemu. Karena merasa kehilangan, maka sesekali terdengar keris itu menangis karena sedih ditinggal ibunya.
***
Di suatu tempat, tak jauh dari keberadaan si keris ajaib, tinggallah seseorang yang bernama Nek Sayu. Nek Sayu adalah temenggung didaerah Galomakng di Gunung Sadaniang yang juga berladang ditepi hutan. Suatu hari Nek Sayu dan istrinya berada didalam pondok ladang. Hujan pun turun dengan sangat lebat.
Sayup-sayup mereka kemudian mendengar ada suara tangis anak kecil yang datangnya dari sebuah pohon. Mereka sejenak heran. Anak siapa yang menangis. Mengapa anak itu menangis. Dimana anak itu? Begitu ragam kecamuk yang ada dipikiran Nek Sayu.
Dan dengan perasaan ingin tahun, Nek Sayu kemudian pergi kearah suara tangis yang ada diatas pohon dan memanjatnya. Ketika Nek Sayu naik, benda yang disangkanya anak kecil itu tiba-tiba meloncat terjun kebawah. Namun, ketika Nek Sayu turun, benda menangis itu kembali naik keatas pohon. Begitu seterusnya. Akhirnya Nek Sayu kesal dan menunggu dibawah pohon.
“Wahai bayi aneh! Jika kamu ingin kami pelihara, turunlah dan nampakkan wujudmu. Kami, suami istri akan memelihara kamu sebagaimana anak kami sendiri.” Seru Nek Sayu.
“Jika engkau ingin memeliharaku, ambillah selendang raja untuk menggendongku.” Benda aneh itu berkata pada Nek Sayu.
“Baik. Syaratnya akan kupenuhi secepat mungkin. Aku akan pinjam selendang raja untuk memenuhi permintaanmu.” Janji Nek Sayu.
Keesokan harinya Nek Sayu pun mendatangi Raja Kudong didaerah Sangking Sadaniang, untuk meminjam selendang.
“Ampun Tuanku. Adapun maksud kedatangan hamba kemari bermaksud untuk meminjam selendang Tuanku. Cuma tujuh hari saja.” Mohonnya pada Raja Kudong.
“Untuk apa Nek Sayu? Sebab selendang raja tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain jika tidak ada alasan yang tepat?” Tanya Raja Kudong.
“Ampun beribu ampun Paduka Raja. Hanya selendang Yang Mulia yang dapat mengambil bayi aneh didalm hutan itu, karena dia hanya mau disambut dan digendong dengan selendang raja.” Jelas Nek Sayu.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Raja menjawab. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Setelah itu segera dikembalikan.” Jawab Raja sambil memberikan selendangnya.
Setelah mendapat selendang raja, Nek Sayu pun membawanya ketempat dimana benda menangis itu bernaung. Awalnya dia mengajak istrinya turut serta, namun karena banyak pekerjaan di rumah yang harus dikerjakan seperti menimba iar di sumur, membelah kayu dan memasak, maka Nek Sayu pun berangkat sendiri kesana.
Dibawah pohon, Nek Sayu kemudian menadahkan selendang Raja dan berkata.
“Hai, benda menangis. Ini selendang yang kau pinta. Turunlah, segera!”
Maka serta merta benda itu pun terjun diatas selendang raja yang ditadahkan Nek Sayu. Alangkah terkejutnya Nek Sayu. Ternyata yang jatuh itu adalah sebilah keris. Nek Sayu kemudian membawa keris menangis itu pulang kerumahnya.
“Suamiku, apa yang engkau gendong di dalam selendang raja itu?” Tanya istri Nek Sayu. Dia sudah lama menanti kedatangan Nek Sayu sembari berdiri di muka pintu rumah.
“Ini adalah sebilah keris ajaib, istriku.” Jawab Nek Sayu.
“Keris ajaib? Untuk apa suamiku?”
“Kita lihat dan pelihara saja dulu. Semoga ada manfaatnya bagi kita.” Jelas Nek Sayu.
Di dalam rumah, Nek Sayu kemudian meletakkan keris itu dilantai. Tapi keris itu tiba-tiba menangis. Maunya minta di gendong terus. Melihat itu istri Nek Sayu menjadi kesal.
“Suamiku, keris ini cerewet sekali. Maunya hanya digendong selendang raja dan tidak mau dengan kain lain atau diletakkan diatas lantai. Kalau seperti ini kita akan kesusahan dibuatnya. Kita tidak bisa kemana-mana.” Keluh sang istri, panjang lebar.
“Sudahlah istriku. Ini sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Kita terima saja.” Pujuk Nek Sayu bijak.
Akhirnya, karena keris itu terus menangis jika tak digendong dengan selendang Raja Kudong, maka selendang itu pun dipinjam Nek Sayu selama tiga bulan.
***
Raja Kodung adalah seorang panembahan kerajaan Bangkule Rajakng, Putra Patih Gumantar yang bergelar Panembahan Gunung Kandang atau Panembahan Pati Nyabakng. Dia memiliki seorang adik laki-laki bernama Patih Janakng atau Lidah Berbulu dan seorang adik perempuan bernama Dara Itam yang di hari kemudian menikah dengan Ria Sinir yang sebelumnya juga telah menikah denga Raja Pulang Palih.
Istri Raja Kudong bernama Berkelim yang cantik jelita yang berasal dari suku Dayak Kanayatn. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang bernama Dara Rode yang berwajah cantik, perpaduan dari ayahnya yang gagah tampan dan ibunya yang jelita.
Dara Rode dipingit diatas mahligai tingkat tujuh, diasuh oleh tujuh dayang dan dijaga ketat oleh tujuh panglima yang sakti mandraguna, sehingga tak ada seorang laki-laki pun yang dapat melihatnya, apalagi bertemu dengan anak Panembahan Kudong yang kaya raya itu.
***
Di istana Raja Kudong resah. Teringat dengan Temenggung Sayu yang telah lama meminjam selendangnya dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.
“Kemana si Nek Sayu. Sudah tiga bulan dan dia belum mengembalikan selendangku. Pajak pun sudah tiga bulan tak dibayarnya.” Pikir Panembahan Kudong resah dan kesal.
Maka dari itu raja kemudian memerintahkan beberapa panglimanya untuk mendatangi rumah Nek Sayu. Para utusan pun segera mendatangi tempat kediaman Nek Sayu.
“Hai Temenggung Sayu! Raja marah kepadamu karena sudah tiga bulan kamu meminjam selendang raja tapi kau belum mengembalikan selendang beliau, kenapa?”
“Ampunkan saya, Datok Panglima. Tolong sampaikan pada Baginda Panembahan. Bahwa hamba mohon ampun. Lihatlah, benda ini. Dia akan menangis terus apabila tak kugendong dengan selendang Raja. Aku dan istiku pun tak dapat berkerja karenanya. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Baginda Panembahan.” Jelas Nek Sayu cemas.
Melihat kenyataan itu, para utusan pun percaya dan pulang menyampaikan apa yang terjadi pada Raja Kudong. Mendengar itu Panembahan Kudong memutuskan untuk berangkat sendiri ke tempat Nek Sayu.
“Kalau begitu, aku sendiri yang akan kerumah Tumenggung Sayu. Dan engkau Datok Panglima dan pengawal lain, ikut bersamaku.” Perintah Panembahan Kudong.
Mereka pun lantas mendatangi Nek Sayu. Melihat kedatangan Penembahan Kudong kerumahnya membuat Tumenggung Sayu ketakukan. Wajahnya pucat pasi. Dikiranya, pastilah Raja akan menghukumnya.
“Apa kabar Temenggung Sayu.” Sapa Raja.
“Hamba dan istri hamba baik-baik saja.” Jawab Nek Sayu, tetap menggendong si keris.
“ Wahai Nek Sayu. Mana benda yang kau maksudkan itu? Aku mau melihat!” Pinta Raja.
Nek Sayu pun meletakkan keris itu dilantai, dihadapan Sang Raja. Saat diletakkan, seketika itu terdengarlah suara tangisan yang berasal dari keris itu, tersedu-sedu.
“Oweee... Oweee... Oweee...” Begitulah bunyi suara yang keluar dari keris ajaib itu.
Melihat kejadian aneh itu Raja Kudong merasa tertarik dan berniat memilikinya.
“Serahkan keris itu padaku, Nek Sayu!” Dan kamu beserta anak buahmu diwilayah ini aku bebaskan untuk tidak membayar pajak.” Titah Raja.
Mendengar itu Nek Sayu langsung setuju dan segera menyerahkan keris menangis itu pada Raja. “Terimakasih Baginda Panembahan. Semoga Baginda murah rezeki, senantiasa diberi kesehatan dan umur yang panjang.” Syukur Nek Sayu sembari mendoakan Sang Raja.
Setelah itu seluruh wilayah kekuasaan Nek Sayu terbebas dari pajak dan hidup dengan tentram.
***
Di istana Raja Kudong senang mendapatkan keris dari Nek Sayu. Keris itu kemudian diasuh oleh putrinya, Dara Rode yang sehari-harinya tinggal didalam sebuah mahligai yang dijaga ketat oleh tujuh orang panglima.
“Ini sebilah keris ajaib. Ayahanda mohon Ananda mengasuhnya dengan baik, karena keris ajaib ini sangat lincah dan pandai menangis.” Titah Sang Raja pada putrinya.
“Terimakasih Ayahanda.” Ucap Dara Rode senang.
Panembahan Kudong yakin, keris ajaib itu dapat dipelihara Dara Rode dengan baik. Karena putrinya itu ditemani dengan tujuh orang dayang dan tujuh panglima yang sakti mandraguna.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Beberapa bulan kemudian terdengar desas-desus dikalangan istana, bahwa Dara Rode jika malam selalu bersama seorang pemuda tampan dan gagah. Beritanya langsung menyebar ke masyarakat luas di bangkule Rajakng.
Mendengar berita yang mencoreng mukanya itu Raja menjadi gusar. Raja Kudong kemudian memanggil semua para petinggi, Datok Panglima dan kerabat istana, bertanya apa betul Dara Rode setiap malam selalu ditemani seorang pemuda.
“Apa benar putriku Dara Rode jika malam ditemani sama seorang pemuda? Kalau benar, siapa pemuda itu?” Tanya Raja pada seluruh abdinya dan didepan Dara Rode.
Dan tanpa disangka-sangka, Dara Rode berkata lantang dan mengaku kalau berita itu memang benar adanya pada Raja Kudong.
“Mohon ampun Ayahanda Panembahan. Memang benar Ananda bersama seorang pemuda. Dan pemuda itu adalah si Keris Sakti, Ayahanda.” Jelas Dara Rode pada ayahnya.
Mendengar itu bukan main terkejutnya Raja Kudong. “Bagaimana bisa anakku? Itu mustahil.” Bantah Raja Kudong.
“Kalau malam keris itu berubah menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah. Jika siang kembali menjelma menjadi keris, Ayahanda.” Jelas Dara Rode lagi.
Mendengar itu Raja pun bernazar didepan seluruh rakyat dan petinggi kerajaan
“Wahai anakku! Kalau memang benar kau selama ini hidup bersama dengan seorang pemuda yang menjelma dari sebilah keris, maka engkau akan kunikahkan dengan keris ajaib tersebut. Dan jika anak yang akan kau lahirkan kelak adalah anak yang luar biasa, bukan seperti manusia biasa, maka aku akan mengangkatnya menjadi seorang raja yang akan menggantikanku pada hari itu juga. Akan tetapi, kalau dia lahir seperti anak manusia biasa itu artinya engkau telah berbohong. Berarti ada orang lain dari kalangan manusia yang menemanimu. Maka sebagai hukumannya kau akan aku pancung didepan umum dan mayatmu akan kucincang dan kuhamburkan ke bumi dan laut.” Demikian pengumuman Raja pada putrinya dan semua kaum kerabat istana yang hadir.
Setelah itu, diadakanlah upacara pernikahan antara Dara Rode dan Keris Ajaib yang dilaksanakan pada hari itu juga.
***
Hari demi hari berlalu, tepat sembilan bulan sepuluh hari Dara Rode pun melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika mau melahirkan, Dara Rode sempat diliputi rasa cemas. Dia takut kalau anak yang dilahirkannya itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sang Raja. Tapi untunglah anak itu memiliki keistimewaan. Di daerah sekitar perutnya ternyata tidak mempunyai pusat. Dan yakinlah Raja Kudong kalau cucunya memang terlahir dari titisan para dewa.
Raja Kudong lantas memberi cucunya nama Singkuwuk yang bergelar Panembahan Tidak Berpusat atau Panembahan Singaok. Raja Kudong pun menepati janjinya. Anak itu langsung diangkatnya menjadi Raja Singaok dan diberi gelar Panembahan Tidak Berpusat atau Panembahan Inak Bapusat.
Sengkuwuk tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan dan sakti mandraguna, dihormati dan disayangi keluarga, kerabat istana dan rakyat Bangkule Rajakng. Setelah Raja Kudong wafat, Bangkule Rajakng yang dipimpinnya mengalami masa gemilang karena rakyat hidup aman damai sentosa. Penembahan Tak berpusat kemudian menikah dengan putri cermin, anak Raja Qahar dari Sumatera Barat yang bergelar Ratu Panembahan Putri Cermin.
Sumber:
Rap, Lonyenk. (Ed.). 2013. Buaya Kuning. Jakarta Timur: Prameswari.
Baca juga:
EmoticonEmoticon