Sumber gambar: www.gocelebes.com |
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi lautan luas sudah terkenal sejak lama. Tidak heran jika pelaut-pelaut Bugis dikatakan sebagai pelaut yang ulung dalam berlayar. Suku Bugis diakui sebagai ahli laut yang tidak gentar dengan badai dan taufan. Ketika kapal sudah berlabuh dan layarpun sudah dibentang lebar, pantang bagi orang Bugis untuk berputar pulang kedaratan. Menggunakan rasi bintang dilangit, orang Bugis juga bisa tahu dimana arah kapal akan berlayar.
Banyaknya suku Bugis yang berlayar diperairan nusantara, tidak terlepas dari kisah perjalanan lima bersaudara asal tanah Bugis. Lima bersaudara tersebut merupakan anak dari Opu Tendri Borong Daeng Rilekke yang masih memiliki hubungan dengan kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Opu Daeng Perani adalah anak yang paling tua, kemudian Opu Daeng Menambon, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cela' dan anak yang bungsu adalah Opu Daeng Kemasi.
Kelima bersaudara tersebut terkenal sebagai pelaut yang pemberani dan bijaksana. Dalam perantauannya, mereka banyak membantu kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami kesulitan atau peperangan. Baik itu merupakan perang saudara atau pun diserang oleh kerajaan lain. Atas kebaikan dan kemurahan hatinyalah, nama mereka terkenal hingga kemana-mana.
Pengembaraaan lima bersaudara dan ayahnya, Opu Tenri Borong Daeng Rilekke pertama kali singgah di Betawi (Jakarta). Persinggahan ini dengan maksud untuk menemui adik kandung ayahnya yang bernama Opu Daeng Biasa yang ketika itu merupakan pemimpin bagi orang-orang Bugis disana.
Pengembaraan kemudian dilanjutkan kembali menuju Negeri Segantang Lada di Pulau Siantan. Disini mereka menemui seorang penguasa Pulau Siantan yang bernama Karaeng Abdul fattah yang juga berasal dari tanah Bugis. Tidak hanya sampai disini, pengembaraan ke lima bersaudara tersebut kemudian dilanjutkan kedaerah-daerah Semenanjung Melayu yang lainnya hingga ke Kemboja.
Setelah mengembara di Kemboja, Opu Tenri Daeng Rilekke berserta kelima anaknya memutuskan untuk kembali ke Pulau Siantan. Disinilah Opu Tenri Daeng Rilekke wafat dan dimakamkan. Setelah ayah dari kelima bersaudara tersebut wafat, semua tanggung jawab dipegang oleh Opu Daeng Perani yang merupakan anak paling tertua diantara yang lainnya. Meskipun ayah mereka telah wafat bukan berarti membuat kelima bersaudara tersebut putus asa untuk melakukan pengembaraan dan menolong kerajaan-kerajaan.
Opu Daeng Perani
Opu Daeng Perani dan keempat saudaranya memiliki peranan yang penting dalam membantu Raja Sulaiman untuk menyelamatkan adiknya, Tengku Kamariah yang dirampas oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Selain sebagai pemimpin bagi empat saudara yang lainnya, Opu Daeng Perani juga berhasil mengumpulkan orang-orang Bugis yang berada di Selangor untuk membantu Raja Sulaiman. Atas berkat strategi dari lima bersaudara tersebut, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah berhasil dikalahkan dan melarikan diri.
Sebagai penghargaan atas kemenangan tersebut, Opu Daeng Perani ditunjuk untuk menjadi Yang Dipertuan Muda Oleh Raja Sulaiman. Namun Daeng Perani menolak dan mengusulkan agar yang menjadi Yang Dipertuankan Muda adalah diantara ketiga saudaranya, kecuali Opu Daeng Menambon karena sudah memiliki seorang istri dari Kerajaan Matan. Mendengarkan saran tersebut, Raja Sulaiman memutuskan bahwa Opu Daeng Marewah lah yang menjadi Yang Dipertuan Muda Johor-Riau. Sedangkan Opu Daeng Perani dinikahkan dengan adik Raja Sulaiman yang bernama Tengku Tengah.
Selain membantu Raja Sulaiman, Opu Daeng Perani dan empat saudaranya juga pernah membantu Sultan Muhammad Jiwa Zainal Adilin Mu'adzam Shah II untuk merebut takhta kekuasaan dari adiknya. Opu Daeng Perani memperoleh gelar sebagai Perajurit Agung Sastra Johan Pahlawan. Beliau wafat pada tahun 1723 didalam peperangan dan dimakamkan dikampung Ekor Lubok, Kedah.
Opu Daeng Menambon
Sebelum menolong Raja Sulaiman, kelima bersaudara tersebut juga pernah menolong Kerajaan Matan yang sedang terjadi konflik antar saudara. Kekuasaan Kerajaan Matan yang sebelumnya dipegang oleh Sultan Zainuddin harus berpindah secara terpaksa ketangan adiknya sendiri, Pangeran Agung.
Mendapatkan serangan yang mendadak oleh adiknya sendiri tidak membuat Sultan Zainuddin ciut untuk menyerah. Beliau tetap bertahan di dalam masjid yang sudah di kepung oleh pasukan adiknya sendiri. Setelah beberapa lama, kabar akan kesatria lima bersaudara dari tanah Bugis sampai ditelinga Raja Zainuddin. Tanpa membuang waktu, Sultan Zainuddin pun langsung mengirimi surat kepada lima berasaudara tersebut untuk meminta pertolongan.
Kabar akan datangnya kelima bersaudara tersebut diketahui oleh Pangeran Agung. Hal tersebut membuat Pangeran Agung memerintahkan menantunya, Daeng Matekoh yang juga berasal dari tanah Bugis. Ketika tiba di Kerajaan Matan, Kelima bersaudara tersebut berhasil membawa Raja Zainuddin keluar dari kepungan pasukan Pangeran Agung dan kemudian berangkat ke kerajaan Banjar. Disini Raja Zainuddin menjumpai istri dan anak-anaknya sekaligus menyusun siasat untuk merebut kembali kekuasaan.
Setelah beberapa lama, Raja Zainuddin kembali ke Kerajaan Matan dan ditemani oleh Opu Daeng Menambon dan keempat saudaranya. Maksud dari kepulangan ini tidak lain hanyalah untuk mengambil alih kekuasaan yang telah direbut oleh Pangeran Agung. Mengetahui hal tersebut, Pangeran Agung mengerahkan pasukan Matan, Tuan Haji Hafiz dan Daeng Matekoh untuk menghalau kedatangan Raja Zainuddin.
Berkat kecakapan kelima bersaudara tersebut dalam berbicara dan bersiasat, akhirnya Daeng Matekoh dan pasukan mengalah. Disebutkan juga bahwa Daeng Matekoh masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Opu Daeng Menambon dan empat saudaranya. Setelah kejadian tersebut, Daeng Matekoh kemudian dilarikan ke Siak dengan menggunakan kapal kelima saudara tersebut.
Atas keberhasilannya merebut kerajaan kembali, Raja Zainuddin berniat untuk menikahkan putrinya dengan salah satu diantara kelima bersaudara tersebut. Disinilah, Opu Daeng Menambon memperoleh seorang istri yang bernama Puteri Kesumba dan memperoleh gelar Pangeran Mas Surya Negara. Perayaan pernikahan antara Opu Daeng Menambon dan Puteri Kesumba dilasanakan secara meriah di Kerajaan Matan.
Setelah beberapa lama pernikahan, Opu Daeng Menambon meminta izin kepada Raja Zainuddin dan istrinya untuk mengikuti rombongan saudaranya yang akan menolong Raja Sulaiman. Mendengar permohonan tersebut, Raja Zainuddin memberikan izin dan mengisyaratkan agar segera pulang ketika segala urusan selesai.
Ketika urusan di Semenanjung Melayu selesai, Opu Daeng Menambon memutuskan untuk pulang ke Kerajaan Matan. Sebelum itu, Opu Daeng Menambon juga menyempatkan diri untuk memenuhi undangan dari Sultan Umar Akamuddin I, Kerajaan Sambas. Dikerajaan Sambas inilah, adik bungsu Opu Daeng Menambon menemui jodohnya.
Setelah empat puluh hari berada di Kerajaan Sambas dan meninggalkan Kerajaan Matan kurang lebih 3 tahun, Opu Daeng Menambon melanjutkan perjalanan untuk segera pulang ke Kerajaan Matan. Kedatangan Opu Daeng Menambon di Kerajaan Matan sangat disambut suka cita oleh Raja Zainuddin dan penduduk Matan.
Mengingat usia Sultan Zainuddin yang sudah semakin tua, diputuskanlah untuk segera mencari siapa penerusnya selanjutnya. Dalam perundingan yang dilakukan, diputuskanlah bahwa yang menjadi raja selanjutnya adalah Pangeran Mangkurat yang merupakan putra dari Sultan Zainuddin. Sedangkan Opu Daeng Menambon di anjurkan untuk berlayar ke Senggaok (hulu Sungai Mempawah), tempat asal mula istri Sultan Zainuddin, Mas Indrawati.
Berangkatlah Opu Daeng Menambon beserta istrinya, mertua, nenek dan pengikutnya menuju ke Mempawah dengan menggunakan 40 buah perahu. Disinilah Opu Daeng Menambon menjadi seorang raja dan memimpin Kerajaan Mempawah yang dipusatkan di Sebukit Rama. Dibawah kepemimpinan beliau berbagai suku dan agama hidup berdampingan dengan harmonis dan damai. Dimasa kepemimpinan beliau juga lah datang seorang guru agama Islam terkenal bernama Syayid Habib Husein Al Qadry yang membuat agama Islam semakin berkembang di Mempawah.
Opu Daeng Menambon wafat pada tahun 1761 dan dimakamkan di Sebukit Rama. Untuk memperingati kedatangan beliau di Mempawah, setiap hari rabu terakhir di bulan Safar selalu diadakan tradisi Robo'-robo'
Opu Daeng Marewah
Seperti yang diketahui, Opu Daeng Marewah bersama empat saudaranya telah berhasil membantu kerajaan-kerajaan yang membutuhkan pertolongan. Salah satunya adalah menolong Raja Sulaiman yang saat itu adiknya di rebut oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah dari Kerajaan Siak. Atas kesuksesan tersebut, Opu Daeng Marewah diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda I Johor-Riau atau setara dengan perdana menteri.
Setelah penobatan Sultan Sulaiman sebagai Sultan Johor-Riau, dilakukan jugalah pelantikan terhadap Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I. Dalam penobatan tersebut juga dilakukan sumpah setia antara Melayu dan Bugis.
Opu Daeng merewa memiliki gelar Kelana Jaya Putera dan memiliki seorang istri bernama Tun Cik Ayu. Masa jabatan Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I Johor-Riau dimulai 1721 M hingga 1728 Masehi. Pada tahun 1728 M Opu Daeng Merewah wafat ketika melakukan inspeksi ke Pulau Pitung dan dimakamkan di Kota Rebah, Kepulauan Riau.
Opu Daeng Celak
Seperti empat saudara yang lainnya, Opu Daeng Celak juga memiliki peran dalam membantu Sultan Sulaiman. Atas keberhasilan beliau dan empat saudaranya dalam menyelamatkan adik Sultan Sulaiman, Beliau dinikahkan dengan adik Sultan Sulaiman yang bernama Tengku Mandak.
Setelah Opu Daeng Marewah wafat, Opu Daeng Celak diangkat menjadi Yang Dipertuankan Muda II Johor-Riau. Opu Daeng Celak merupakan panglima perang yang berani dan pandai dalam mengatur strategi sehingga disaat pemerintahan beliau daerah Johor-Riau semakin disegani.
Dibawah kepemimpinan beliau jugalah, Opu Daeng Celak memerintahkan penduduk Riau untuk menanam lada hitam dan gambir. Karena itulah pelabuhan Riau semakin maju dan ramai dikunjungi para pedagang.
Masa jabatan Opu Daeng Celak sebagai Yang Dipertuankan Muda II dimulai dari tahun 1728 M hingga 1745. Pada tahun 1745 beliau wafat dan dimakam di Kota Lama, Kepulauan Riau.
Opu Daeng Kemasi
Setelah berhasil bersama saudara-saudaranya dalam membantu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dan Barat Borneo (Kalimantan), datanglah sebuah surat ketika kelima bersaudara tersebut sedang berada di Riau. Surat tersebut berasal dari Sultan Umar Akamuddin I yang merupakan sultan Kerajaan Sambas. Maksud dari kedatangan surat tersebut adalah mengundang kelima bersaudara tersebut agar berkunjung ke Kerajaan Sambas sekaligus ingin menjodohkan adiknya diantara salah satu kelima bersaudara tersebut.
Opu Daeng Perani dan keempat saudaranya sangat menghargai undangan dan maksud dari Sultan Kerajaan Sambas tersebut. Maka diputuskanlah bahwa yang akan memenuhi undangan tersebut adalah Opu Daeng Kamasih. Karena menurut Opu Daeng Perani, diantara mereka bersaudara, Opu Daeng Kemasi lah yang belum menemui jodohnya.
Berlayarlah Opu Daeng Kemasi ditemani Opu Daeng Menambon menuju ke Kerajaan Sambas. Jika sebelumnya mereka selalu berlayar dengan lima bersaudara, kali ini mereka hanya berdua. Sebelum berpisah, kelima bersaudara tersebut juga berjanji untuk saling mengirimi surat dan segera menolong jika ada diantara mereka yang membutuhkan.
Sesampainya di Kerajaan Sambas, Sultan Umar Akamuddin I sangat gembira atas kedatangan mereka berdua. Disinilah Opu Daeng Kemasi memperoleh seorang istri bernama Raden Tengah dan tidak lain merupakan adik dari Sultan Umar Akamuddin I. Oleh karena itu, Opu Daeng Kemasi mendapatkan gelar sebagai Pangeran Mangkubumi di Kerajaan Sambas.
Setelah tujuh hari pernikahan Opu Daeng Kemasi, Opu Daeng Menambon memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Matan yang juga berada di pesisir Pulau Borneo (Kalimantan).
Dengan kisah lima bersaudara diatas menunjukkan bahwa peran orang Bugis di Semenanjung Melayu tidak hanya dalam ekonomi saja, tetapi juga memiliki peranan yang penting dalam bidang politik. Selain itu, keberadaan orang Bugis di Semenanjung Melayu dan Kalimantan juga hidup membaur dengan penduduk setempat. Sehingga tidak heran jika pada zaman dahulu sudah sering terjadinya pernikahan antara Orang Bugis dan Orang Melayu yang membuat hubungan kedua suku bangsa tersebut semakin dekat.
Setelah mengembara di Kemboja, Opu Tenri Daeng Rilekke berserta kelima anaknya memutuskan untuk kembali ke Pulau Siantan. Disinilah Opu Tenri Daeng Rilekke wafat dan dimakamkan. Setelah ayah dari kelima bersaudara tersebut wafat, semua tanggung jawab dipegang oleh Opu Daeng Perani yang merupakan anak paling tertua diantara yang lainnya. Meskipun ayah mereka telah wafat bukan berarti membuat kelima bersaudara tersebut putus asa untuk melakukan pengembaraan dan menolong kerajaan-kerajaan.
Opu Daeng Perani
Sumber gambar: www.timothytye.com |
Opu Daeng Perani dan keempat saudaranya memiliki peranan yang penting dalam membantu Raja Sulaiman untuk menyelamatkan adiknya, Tengku Kamariah yang dirampas oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Selain sebagai pemimpin bagi empat saudara yang lainnya, Opu Daeng Perani juga berhasil mengumpulkan orang-orang Bugis yang berada di Selangor untuk membantu Raja Sulaiman. Atas berkat strategi dari lima bersaudara tersebut, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah berhasil dikalahkan dan melarikan diri.
Sebagai penghargaan atas kemenangan tersebut, Opu Daeng Perani ditunjuk untuk menjadi Yang Dipertuan Muda Oleh Raja Sulaiman. Namun Daeng Perani menolak dan mengusulkan agar yang menjadi Yang Dipertuankan Muda adalah diantara ketiga saudaranya, kecuali Opu Daeng Menambon karena sudah memiliki seorang istri dari Kerajaan Matan. Mendengarkan saran tersebut, Raja Sulaiman memutuskan bahwa Opu Daeng Marewah lah yang menjadi Yang Dipertuan Muda Johor-Riau. Sedangkan Opu Daeng Perani dinikahkan dengan adik Raja Sulaiman yang bernama Tengku Tengah.
Selain membantu Raja Sulaiman, Opu Daeng Perani dan empat saudaranya juga pernah membantu Sultan Muhammad Jiwa Zainal Adilin Mu'adzam Shah II untuk merebut takhta kekuasaan dari adiknya. Opu Daeng Perani memperoleh gelar sebagai Perajurit Agung Sastra Johan Pahlawan. Beliau wafat pada tahun 1723 didalam peperangan dan dimakamkan dikampung Ekor Lubok, Kedah.
Opu Daeng Menambon
Sumber gambar: Yunisura.wordpress.com |
Sebelum menolong Raja Sulaiman, kelima bersaudara tersebut juga pernah menolong Kerajaan Matan yang sedang terjadi konflik antar saudara. Kekuasaan Kerajaan Matan yang sebelumnya dipegang oleh Sultan Zainuddin harus berpindah secara terpaksa ketangan adiknya sendiri, Pangeran Agung.
Mendapatkan serangan yang mendadak oleh adiknya sendiri tidak membuat Sultan Zainuddin ciut untuk menyerah. Beliau tetap bertahan di dalam masjid yang sudah di kepung oleh pasukan adiknya sendiri. Setelah beberapa lama, kabar akan kesatria lima bersaudara dari tanah Bugis sampai ditelinga Raja Zainuddin. Tanpa membuang waktu, Sultan Zainuddin pun langsung mengirimi surat kepada lima berasaudara tersebut untuk meminta pertolongan.
Kabar akan datangnya kelima bersaudara tersebut diketahui oleh Pangeran Agung. Hal tersebut membuat Pangeran Agung memerintahkan menantunya, Daeng Matekoh yang juga berasal dari tanah Bugis. Ketika tiba di Kerajaan Matan, Kelima bersaudara tersebut berhasil membawa Raja Zainuddin keluar dari kepungan pasukan Pangeran Agung dan kemudian berangkat ke kerajaan Banjar. Disini Raja Zainuddin menjumpai istri dan anak-anaknya sekaligus menyusun siasat untuk merebut kembali kekuasaan.
Setelah beberapa lama, Raja Zainuddin kembali ke Kerajaan Matan dan ditemani oleh Opu Daeng Menambon dan keempat saudaranya. Maksud dari kepulangan ini tidak lain hanyalah untuk mengambil alih kekuasaan yang telah direbut oleh Pangeran Agung. Mengetahui hal tersebut, Pangeran Agung mengerahkan pasukan Matan, Tuan Haji Hafiz dan Daeng Matekoh untuk menghalau kedatangan Raja Zainuddin.
Berkat kecakapan kelima bersaudara tersebut dalam berbicara dan bersiasat, akhirnya Daeng Matekoh dan pasukan mengalah. Disebutkan juga bahwa Daeng Matekoh masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Opu Daeng Menambon dan empat saudaranya. Setelah kejadian tersebut, Daeng Matekoh kemudian dilarikan ke Siak dengan menggunakan kapal kelima saudara tersebut.
Atas keberhasilannya merebut kerajaan kembali, Raja Zainuddin berniat untuk menikahkan putrinya dengan salah satu diantara kelima bersaudara tersebut. Disinilah, Opu Daeng Menambon memperoleh seorang istri yang bernama Puteri Kesumba dan memperoleh gelar Pangeran Mas Surya Negara. Perayaan pernikahan antara Opu Daeng Menambon dan Puteri Kesumba dilasanakan secara meriah di Kerajaan Matan.
Setelah beberapa lama pernikahan, Opu Daeng Menambon meminta izin kepada Raja Zainuddin dan istrinya untuk mengikuti rombongan saudaranya yang akan menolong Raja Sulaiman. Mendengar permohonan tersebut, Raja Zainuddin memberikan izin dan mengisyaratkan agar segera pulang ketika segala urusan selesai.
Ketika urusan di Semenanjung Melayu selesai, Opu Daeng Menambon memutuskan untuk pulang ke Kerajaan Matan. Sebelum itu, Opu Daeng Menambon juga menyempatkan diri untuk memenuhi undangan dari Sultan Umar Akamuddin I, Kerajaan Sambas. Dikerajaan Sambas inilah, adik bungsu Opu Daeng Menambon menemui jodohnya.
Setelah empat puluh hari berada di Kerajaan Sambas dan meninggalkan Kerajaan Matan kurang lebih 3 tahun, Opu Daeng Menambon melanjutkan perjalanan untuk segera pulang ke Kerajaan Matan. Kedatangan Opu Daeng Menambon di Kerajaan Matan sangat disambut suka cita oleh Raja Zainuddin dan penduduk Matan.
Mengingat usia Sultan Zainuddin yang sudah semakin tua, diputuskanlah untuk segera mencari siapa penerusnya selanjutnya. Dalam perundingan yang dilakukan, diputuskanlah bahwa yang menjadi raja selanjutnya adalah Pangeran Mangkurat yang merupakan putra dari Sultan Zainuddin. Sedangkan Opu Daeng Menambon di anjurkan untuk berlayar ke Senggaok (hulu Sungai Mempawah), tempat asal mula istri Sultan Zainuddin, Mas Indrawati.
Berangkatlah Opu Daeng Menambon beserta istrinya, mertua, nenek dan pengikutnya menuju ke Mempawah dengan menggunakan 40 buah perahu. Disinilah Opu Daeng Menambon menjadi seorang raja dan memimpin Kerajaan Mempawah yang dipusatkan di Sebukit Rama. Dibawah kepemimpinan beliau berbagai suku dan agama hidup berdampingan dengan harmonis dan damai. Dimasa kepemimpinan beliau juga lah datang seorang guru agama Islam terkenal bernama Syayid Habib Husein Al Qadry yang membuat agama Islam semakin berkembang di Mempawah.
Opu Daeng Menambon wafat pada tahun 1761 dan dimakamkan di Sebukit Rama. Untuk memperingati kedatangan beliau di Mempawah, setiap hari rabu terakhir di bulan Safar selalu diadakan tradisi Robo'-robo'
Opu Daeng Marewah
Sumber gambar: siunthel.blogspot.co.id |
Seperti yang diketahui, Opu Daeng Marewah bersama empat saudaranya telah berhasil membantu kerajaan-kerajaan yang membutuhkan pertolongan. Salah satunya adalah menolong Raja Sulaiman yang saat itu adiknya di rebut oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah dari Kerajaan Siak. Atas kesuksesan tersebut, Opu Daeng Marewah diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda I Johor-Riau atau setara dengan perdana menteri.
Setelah penobatan Sultan Sulaiman sebagai Sultan Johor-Riau, dilakukan jugalah pelantikan terhadap Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I. Dalam penobatan tersebut juga dilakukan sumpah setia antara Melayu dan Bugis.
Opu Daeng merewa memiliki gelar Kelana Jaya Putera dan memiliki seorang istri bernama Tun Cik Ayu. Masa jabatan Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I Johor-Riau dimulai 1721 M hingga 1728 Masehi. Pada tahun 1728 M Opu Daeng Merewah wafat ketika melakukan inspeksi ke Pulau Pitung dan dimakamkan di Kota Rebah, Kepulauan Riau.
Opu Daeng Celak
Sumber gambar: www.tempat.co.id |
Seperti empat saudara yang lainnya, Opu Daeng Celak juga memiliki peran dalam membantu Sultan Sulaiman. Atas keberhasilan beliau dan empat saudaranya dalam menyelamatkan adik Sultan Sulaiman, Beliau dinikahkan dengan adik Sultan Sulaiman yang bernama Tengku Mandak.
Setelah Opu Daeng Marewah wafat, Opu Daeng Celak diangkat menjadi Yang Dipertuankan Muda II Johor-Riau. Opu Daeng Celak merupakan panglima perang yang berani dan pandai dalam mengatur strategi sehingga disaat pemerintahan beliau daerah Johor-Riau semakin disegani.
Dibawah kepemimpinan beliau jugalah, Opu Daeng Celak memerintahkan penduduk Riau untuk menanam lada hitam dan gambir. Karena itulah pelabuhan Riau semakin maju dan ramai dikunjungi para pedagang.
Masa jabatan Opu Daeng Celak sebagai Yang Dipertuankan Muda II dimulai dari tahun 1728 M hingga 1745. Pada tahun 1745 beliau wafat dan dimakam di Kota Lama, Kepulauan Riau.
Opu Daeng Kemasi
Sumber gambar: merahsilu.blogspot.co.id |
Setelah berhasil bersama saudara-saudaranya dalam membantu kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dan Barat Borneo (Kalimantan), datanglah sebuah surat ketika kelima bersaudara tersebut sedang berada di Riau. Surat tersebut berasal dari Sultan Umar Akamuddin I yang merupakan sultan Kerajaan Sambas. Maksud dari kedatangan surat tersebut adalah mengundang kelima bersaudara tersebut agar berkunjung ke Kerajaan Sambas sekaligus ingin menjodohkan adiknya diantara salah satu kelima bersaudara tersebut.
Opu Daeng Perani dan keempat saudaranya sangat menghargai undangan dan maksud dari Sultan Kerajaan Sambas tersebut. Maka diputuskanlah bahwa yang akan memenuhi undangan tersebut adalah Opu Daeng Kamasih. Karena menurut Opu Daeng Perani, diantara mereka bersaudara, Opu Daeng Kemasi lah yang belum menemui jodohnya.
Berlayarlah Opu Daeng Kemasi ditemani Opu Daeng Menambon menuju ke Kerajaan Sambas. Jika sebelumnya mereka selalu berlayar dengan lima bersaudara, kali ini mereka hanya berdua. Sebelum berpisah, kelima bersaudara tersebut juga berjanji untuk saling mengirimi surat dan segera menolong jika ada diantara mereka yang membutuhkan.
Sesampainya di Kerajaan Sambas, Sultan Umar Akamuddin I sangat gembira atas kedatangan mereka berdua. Disinilah Opu Daeng Kemasi memperoleh seorang istri bernama Raden Tengah dan tidak lain merupakan adik dari Sultan Umar Akamuddin I. Oleh karena itu, Opu Daeng Kemasi mendapatkan gelar sebagai Pangeran Mangkubumi di Kerajaan Sambas.
Setelah tujuh hari pernikahan Opu Daeng Kemasi, Opu Daeng Menambon memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Matan yang juga berada di pesisir Pulau Borneo (Kalimantan).
Dengan kisah lima bersaudara diatas menunjukkan bahwa peran orang Bugis di Semenanjung Melayu tidak hanya dalam ekonomi saja, tetapi juga memiliki peranan yang penting dalam bidang politik. Selain itu, keberadaan orang Bugis di Semenanjung Melayu dan Kalimantan juga hidup membaur dengan penduduk setempat. Sehingga tidak heran jika pada zaman dahulu sudah sering terjadinya pernikahan antara Orang Bugis dan Orang Melayu yang membuat hubungan kedua suku bangsa tersebut semakin dekat.
EmoticonEmoticon