"Eh, udah sore dah ni, nanti-nanti lah". Jawab Mastur ketika kami mengajaknya untuk mampir di rumah peninggalan Belanda.
Setelah berunding sedikit lama, akhirnya ia mengiyakan. Motor yang tadinya berjalan beriringan, sekarang kembali berderetan membentuk formasi antri.
Tidak lama kemudian, motor kami pun memasuki sebuah jalan yang tidak lain adalah menuju ke sebuah bukit tempat rumah peninggalan Belanda berada. Dari arah jalan raya yang kami lewati sebelumnya, bisa terlihat bagaimana separuh dari bukit tersebut sudah dikeruk untuk diambil tanahnya. Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan tempat bersejarah ini tidak dilindungi alias terancam hilang.
Sebelum mendaki bukit, Mastur terlebih dahulu mengajak kami untuk mendatangi rumah penduduk yang ada di kaki bukit. Rumah penduduk di kaki bukit ini pun tidak terlalu banyak, kurang lebih hanya terdapat lima rumah. Adapun tujuan kunjungan tersebut adalah bermaksud untuk meminta izin kepada penduduk setempat bahwa kami akan mendaki bukit yang ada diatas sana.
Setelah mendapatkan izin dari penduduk setempat, kami pun bersiap-siap untuk melakukan pendakian keatas bukit.
"Aku tadak ikot. Kitak jak yang naek ke atas ie". Kata Mastur ketika kami telah bersiap-siap untuk naik keatas.
"Macam mane pulak tadak ikot, yang tau kan ente?" Tanya teman yang lain.
Akhirnya kami memutuskan untuk tetap naik keatas, meskipun diantara kami yang akan naik belum ada yang pernah datang kesini. Yang tahu betul letak rumah peninggalan Belanda adalah Mastur, karena dia berasal dari daerah ini dan sebelumnya juga pernah datang ke tempat tersebut. Dari raut wajahnya saya dapat menebak, ada sesuatu hal yang disembunyikan atau ditakuti diatas sana.
Kami pun mulai melakukan pendakian. Diawal pendakian memang terasa mudah karena telah tersedia anak tangga. Tapi anak tangga tersebut hanya sampai di Pekong, tempat ibadah umat Khonghucu. Untuk pendakian selanjutnya kami harus melalui jalan setapak yang menanjak. Berjalan dilereng bukit ini juga harus hati-hati, karena sebagiann badan bukit sudah dikeruk untuk diambil tanahnya.
Belum sampai ditempat tujuan, kami sudah dikagetkan dengan sesuatu hal yang aneh. Tiba-tiba angin kencang datang dari arah laut. Hal ini tentu saja membuat pohon-pohon yang ada disekitar bukit bergoyang dan seakan-akan ingin merebahkan batangnya. Kami pun menghentikan sejenak pendakian, mencari tempat yang lapang untuk menghindari pohon yang misalkan saja tiba-tiba tumbang.
Pendakian dilanjutkan kembali setelah angin mulai redah. Di ufuk barat terlihat matahari yang mulai semakin condong. Jalan yang sebelumnya berjalur sekarang sudah hilang karena sudah banyak ditumbuhi oleh rumput liar. Sesekali kami harus menerobos semak belukar ketika tidak ada jalan yang harus dilalui.
Setelah cukup lama mendaki, akhirnya kami sampai di puncak bukit. Lokasi beradanya rumah peninggalan Belanda. Ekspresi kami ketika tiba disini adalah bahagia yang dibalut kesedihan. Bahagia ketika kami bisa sampai diatas puncak, dan sedih ketika melihat tempat bersejarah ditelantarkan.
Dari atas puncak bukit kami bisah melihat bagaimana panorama alam yang ada disekitar Desa Peniram. Mulai dari hamparan sawah yang hijau, deretan pohon kelapa yang berbaris rapi dan bentangan laut yang luas sejauh mata memandang. Dari sinilah saya mulai tahu, kenapa orang Belanda memilih disini sebagai tempat tinggalnya. Selain dikarenakan keindahannya, namun diatas sini juga mudah untuk memantau setiap kapal yang berlayar.
Kondisi rumah Belanda yang sekarang berbeda jauh dengan apa yang diceritakan oleh kakakku. Dulu rumah ini sangat terawat, sampai akhirnya ditinggalkan oleh penjaganya. Sekarang rumah bersejarah ini terlihat sedikit mengerikan dan banyak dikerumuni tumbuhan liar. Padahal desain rumah ini sangat menarik dan memiliki nilai artistik yang tinggi. Mulai dari bentuknya yang klasik hingga atapnya yang masih menggunakan atap sirap atau atap yang terbuat dari kayu ulin. Seandainya saja rumah ini masih dijaga, pastinya akan menjadi salah satu daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Mempawah. Ah sudahlah.
Sebelum memasuki rumah tersebut, hal yang terlebih dahulu kami lakukan adalah melihat sekitar rumah. Meskipun sudah lama ditinggalkan oleh penjaganya, namun dihalaman kiri rumah tidak dipenuhi oleh semak belukar. Sesuatu yang aneh melihat halaman lapang ditempat yang sudah jarang didatangi. Tanpa menunggu lama kami pun mengeluarkan handphone untuk mengabadikan momen ketika berada disini.
Setelah puas berfoto, barulah kami memasuki bagian dalam rumah. Mesti sedikit ekstra hati-hati, karena papan yang diinjak sudah banyak yang lapuk dimakan usia. Baru diambang pintu, kami sudah bisa melihat secara keseluruhan isi diruang tengah rumah ini. Sampah plastik dan daun-daun kering yang masuk dari atap yang bolong terlihat berserakan diatas lantai. Hal yang sempat membuat kami ngeri adalah ketika melihat sebuah boneka tergantung diatas langit-langit rumah. Bonekanya bukan berbentuk kucing atau binatang lainnya, melainkan menyerupai manusia (anak-anak perempuan). Siapa pula yang membawa boneka dan menggantungnya disini?
Belum sempat kami memotret isi ruangan, tiba-tiba sebuah plastik hitam terseret dari ruangan sebelah kiri menuju ke ruangan yang ada disebelah kanan. Seperti ada seseorang yang manariknya. Tanpa menunggu lama, kami pun langsung berlarian keluar dan meninggalkan rumah tersebut. Tidak perduli jalan yang kami lalui menurun dan memiliki jurang. Pikiran kami hanya satu, yaitu harus segera pergi dari tempat ini. Setelah setengah perjalanan, barulah kami menghentikan pelarian tersebut. Niat semula yang ingin melihat semua ruangan, menjadi batal gara-gara kejadian ini.
Keadaan Rumah Belanda yang Banyak Dikerumun Tumbuhan Liar |
Bagian Halaman Kiri Rumah Belanda |
Semuanya Pada Jongkok Ketika Angin Kencang Datang |
EmoticonEmoticon