Semua berawal dari liburan kami di daerah Sambas. Saat itu, seorang teman yang berasal dari Sambas mengajak saya dan teman lainnya untuk liburan ke kampung halamannya. Ajakan ini tentu saja merupakan sebuah kabar yang gembira. Apalagi ketika itu bertepatan dengan liburan hari raya Idul Adha.
Ini foto yang kesekian kalinya saya datang di Sambas |
Liburan ke Sambas pun terlaksana. Kurang lebih 6 jam perjalanan dengan menggunakan bis, akhirnya kami tiba ditempat tujuan. Tepatnya di Tebas yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sambas. Sebagai anak yang soleh dan sopan, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari dan menyalami orang tua Si Teman, sambil memberikan senyuman yang terbaik. Padahal itu semua ada maunya, biar bisa diizinin untuk menginap disana. Hehehe, kalimat yang barusan hanya sekedar candaan. Karena walau bagaimanapun, kita harus selalu menghormati yang lebih tua, apalagi kita adalah seorang tamu.
Kesan pertama ketika saya sampai di Sambas (meskipun saat itu belum sampai dikotanya) adalah merasa aneh dan terasing. Terasing disini bukan berarti orangnya yang tidak wellcome, melainkan bahasa yang digunakan terasa asing ditelinga saya. Saya juga sempat berpikir, apa mungkin saya telah berada di pulau lain? Setelah beberapa saat, saya pun menyadarinya ternyata diri inilah yang kurang wawasan dan piknik ke tempat lain.
Bahasa Sambas merupakan salah satu bahasa yang banyak dituturkan oleh masyarakat Kalimantan Barat. Bahasa ini tersebar dibeberapa daerah, seperti Sambas, Singkawang, sebagian Bengkayang dan Mempawah.
Keunikan dari bahasa Melayu Sambas adalah pada dialeknya dan penyebutan huruf 'e'. Jika kata 'kemana' dalam bahasa Melayu Pontianak dipanggil 'kemane', maka dalam bahasa sambas 'e' tersebut penyebutannya sama seperti kata 'lele'. Selain itu, kosakata yang digunakan juga banyak perbedaan dengan bahasa Melayu pada umumnya.
Untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, saya lebih banyak mengangguk ketika berbicara dengan kelurga Si Teman. Meskipun banyak kata-kata yang tidak dimengerti, namun setidaknya saya sedikit paham arah pembicaraannya. Kadang-kadang saya juga berkata 'aok' yang memiliki arti 'iya' atau mengiakan.
Orang Sambas itu sangat ramah-tamah ketika menyambut tamu. Begitulah hal serupa yang kami rasakan ketika datang disini. Selain itu, mereka juga sering menyelipkan guyonan diselah-selah pembicaraan. Hal tersebutlahlah yang membuat suasana diruang tamu semakin terasa hangat. Tidak dingin dan tidak juga panas.
Baru saja setengah hari berada di Sambas, saya sudah memiliki beberapa kosakata bahasa Sambas. Seperti inun yang berarti itu, itok' yang berarti ini dan insanak yang berarti keluarga. Itu semua karena Si Teman yang bersedia menjadi transleter kami selama disini. Rasanya sungguh menyerukan belajar bahasa baru.
O iya kawan. Ditebas ini terkenal sebagai daerah penghasil jeruk atau masyarakat setempat menyebutnya limau. Malahan daerah ini merupakan salah satu pemasok terbesar buah jeruk yang ada di Kalimantan Barat. Jeruk yang berasal dari sini terkenal dengan rasanya yang manis. Oleh karena itulah, banyak para pedagang di Kota Pontianak yang menyebut jeruknya berasal dari tebas. Meskipun biasanya tidak berasal dari sana.
Tapi sayang, jeruk Tebas ini sangat sombong dan seperti kacang lupa pada kulitnya. Setelah menjadi duta merek dalam sebuah produk dan sering tampil dilayar kaca, ia mengubah namanya menjadi jeruk Pontianak. Sedih juga melihatnya. Hehehe.
Selama berada disini, saya yakin tidak akan kekurangan vitamin C sedikitpun. Malahan kemungkinan overdosis. Bagaimana tidak, setiap harinya selalu datang puluhan keranjang buah jeruk dari perkebunan. Kami juga sering disuruh ibunya Si Teman untuk kedepan (tempat pemilahan buah jeruk) untuk memakan buah jeruk.
Dari situlah saya juga mendapatkan sebuah ilmu. Sebelum dipasarkan buah jeruk tersebut terlebih dahulu akan melalui dua proses. Dalam bahasa Sambas menyebutnya sortasi dan grading. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan buah yang sehat dengan buah yang cacat atau busuk. Sedangkan grading dilakukan untuk memisahkan buah jeruk berdasarkan warna dan ukuran. Baru kemudian dimasukkan dalam box yang terbuat dari kayu. Setelah itu dipasarkan dan dapat uang.
Hari raya Idul Adha pun tiba. Suara takbir yang mengagungkan kebesaran Allah berkumandang dimana-mana. Rasa senang sekaligus sedih bercampur disaat itu. Karena saat itu adalah pertama kalinya bagi saya merayakan hari besar jauh dari keluarga. Sedihnya cukup sampai disitu saja.
Perayaan Idul Adha di daerah Sambas betul-betul dilaksanakan dengan meriah. Berbagai hidangan kue memenuhi meja yang ada diruang tamu. Seperti lapis legit dan lapis belacan yang merupakan kue khas Sambas, snack dan berbagai macam kue kering (cookies). Pokoknya hari itu makanan kami tinggi akan kandungan mentega. Sekali-kali tak apelah...
Untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, saya lebih banyak mengangguk ketika berbicara dengan kelurga Si Teman. Meskipun banyak kata-kata yang tidak dimengerti, namun setidaknya saya sedikit paham arah pembicaraannya. Kadang-kadang saya juga berkata 'aok' yang memiliki arti 'iya' atau mengiakan.
Orang Sambas itu sangat ramah-tamah ketika menyambut tamu. Begitulah hal serupa yang kami rasakan ketika datang disini. Selain itu, mereka juga sering menyelipkan guyonan diselah-selah pembicaraan. Hal tersebutlahlah yang membuat suasana diruang tamu semakin terasa hangat. Tidak dingin dan tidak juga panas.
Baru saja setengah hari berada di Sambas, saya sudah memiliki beberapa kosakata bahasa Sambas. Seperti inun yang berarti itu, itok' yang berarti ini dan insanak yang berarti keluarga. Itu semua karena Si Teman yang bersedia menjadi transleter kami selama disini. Rasanya sungguh menyerukan belajar bahasa baru.
O iya kawan. Ditebas ini terkenal sebagai daerah penghasil jeruk atau masyarakat setempat menyebutnya limau. Malahan daerah ini merupakan salah satu pemasok terbesar buah jeruk yang ada di Kalimantan Barat. Jeruk yang berasal dari sini terkenal dengan rasanya yang manis. Oleh karena itulah, banyak para pedagang di Kota Pontianak yang menyebut jeruknya berasal dari tebas. Meskipun biasanya tidak berasal dari sana.
Tapi sayang, jeruk Tebas ini sangat sombong dan seperti kacang lupa pada kulitnya. Setelah menjadi duta merek dalam sebuah produk dan sering tampil dilayar kaca, ia mengubah namanya menjadi jeruk Pontianak. Sedih juga melihatnya. Hehehe.
Selama berada disini, saya yakin tidak akan kekurangan vitamin C sedikitpun. Malahan kemungkinan overdosis. Bagaimana tidak, setiap harinya selalu datang puluhan keranjang buah jeruk dari perkebunan. Kami juga sering disuruh ibunya Si Teman untuk kedepan (tempat pemilahan buah jeruk) untuk memakan buah jeruk.
Dari situlah saya juga mendapatkan sebuah ilmu. Sebelum dipasarkan buah jeruk tersebut terlebih dahulu akan melalui dua proses. Dalam bahasa Sambas menyebutnya sortasi dan grading. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan buah yang sehat dengan buah yang cacat atau busuk. Sedangkan grading dilakukan untuk memisahkan buah jeruk berdasarkan warna dan ukuran. Baru kemudian dimasukkan dalam box yang terbuat dari kayu. Setelah itu dipasarkan dan dapat uang.
Hari raya Idul Adha pun tiba. Suara takbir yang mengagungkan kebesaran Allah berkumandang dimana-mana. Rasa senang sekaligus sedih bercampur disaat itu. Karena saat itu adalah pertama kalinya bagi saya merayakan hari besar jauh dari keluarga. Sedihnya cukup sampai disitu saja.
Perayaan Idul Adha di daerah Sambas betul-betul dilaksanakan dengan meriah. Berbagai hidangan kue memenuhi meja yang ada diruang tamu. Seperti lapis legit dan lapis belacan yang merupakan kue khas Sambas, snack dan berbagai macam kue kering (cookies). Pokoknya hari itu makanan kami tinggi akan kandungan mentega. Sekali-kali tak apelah...
Dihari yang sama, orang tua Si Teman juga melaksanakan ibadah qurban. Penyembelihan tersebut dilakukan disamping rumah. Saya juga ikut terlibat dalam hal tersebut, meskipun sebelumnya belum pernah melakukannya.
Singkat cerita, sapi yang akan disembelih tidak bisa diajak kompromi alias susah diatur. Saya yang saat itu sedang bingung mau menolong bagaimana, langsung saja memegang paha belakang dan ekornya agar sapi tersebut bisa tenang. Dan Alhamdulillah, sapi tersebut tidak lagi anarkis dan merelakan dirinya disembelih karena Allah.
Penyembelihan sapinya telah selesai dan malahan sudah dalam proses dimasak. Tapi bau kotoran sapi yang ada ditangan saya tidak hilang-hilang, meskipun telah berulang kali dicuci menggunakan sabun. Lap tangan yang saya gunakan malahan juga terikut bau. Teman-teman juga menghindari saya karena takut dijahili. Tapi begitu ada kesempatan, saya langsung menggosokkan tangan saya ketangan mereka. Alhasil, bau tersebut juga menular. Puas rasanya mengerjai mereka. Astagfirullah...(Tapi jahil saya hanya kepada teman. Aslinya saya ini baik. Buktinya saya tidak menjahili keluarga Si Teman. Hehehe).
"Yo udah masak din. Makanlah, usah supan-supan". Kurang lebihl begitulahbkata ibu Si Teman yang sedang menyajikan makanan, lalu mempersilahkan kami. Sesekali ibunya juga mengguyoni saya, mengingat saya yang sedang memegang ekor sapi ketika pagi tadi.
Didepan kami tersaji berbagai menu dari sapi. Seperi sop tulang, rendang dan sate. Akhirnya, semua yang saya lakukan terbayar dengan makanan ini semuanya. Tanpa disuruh lagi, kami pun menikmati makanan tersebut. Tapi ingat, saat makan waktu itu menggunakan sendok, belum berani menggunakan tangan. Takutnya makanan dipiring saya nanti terkontaminasi oleh bau yg aneh.
Keesokan harinya kami mengunjungi sebuah tempat wisata yang ada di Sambas, yaitu Danau Sebedang. Danau ini cukup luas dan memiki panorama yang indah. Di salah satu bukit juga terdapat pemakaman etnis Tionghoa yang menandakan keberagaman etnis didaerah ini.
Seperti yang kami lakukan, kebanyakan masyarakat yang datang kesini tidak hanya sekedar untuk bersantai, melainkan juga untuk bermain air alias mandi. Disini juga tersedia sewa pelampung besar yang bisa digunakan beramai-ramai.
Kurang lebih tiga jam kami bermain air, baru setelah itu memutuskan untuk menyudahinya. Tangan kami pun sudah terlihat keriput dan pucat. Tapi saya sangat bersyukur, setelah berendam cukup lama akhirnya bau kotoran sapi yang ada ditangan hilang. Alhamdulillah...
Usai mengganti pakaian, kami pun melanjutkannya dengan bersantai di sebuah warung. Rasanya sungguh nikmat, setelah lama bermain air langsung menyantap makanan. Ditambah lagi air kelapa yang terasa segar. Nikmat Tuhan mana lagikah yang akan saya dustakan.
Lagi seruan bersantai sekaligus menikmati angin Danau Sebedang, tiba-tiba seorang teman datang berlarian dan menghampiri.
"Ade buda' bedako' di pingger danau". Ucap seorang teman dengan menggunakan bahasa Melayu Pontianak dicampur Melayu Sambas.
"Bedako'? Ape tuh?". Tanya saya yang saat itu belum tahu apa artinya.
"Dari pada penasaran, bagos kau langsung nengok jak kesanak". Ia menjawab yang disertai dengan tawaan.
Saat itu saya berpikir mungkin artinya menangkap ikan atau mungkin ada yang luka. Dengan polosnya, saya beserta kedua orang teman lainnya datang menghampiri ketempat tersebut.
Kaget, sedih, lucu semuanya bercampur aduk disaat saya menyaksikan sebuah pertunjukan di pinggiran danau, yang lokasinya sedikit tersembunyi. Kaget, karena melihat adegan mesum yang dilakukan ditempat umum. Sedih, karena pelakunya masih anak-anak yang perkiraan saya masih duduk dibangku SMP. Dan lucu, karena saya berhasil dijebak oleh teman. Bedako' artinya berpelukan. Bertambah lagi satu kosakata bahasa Sambas didalam galeri pikiran saya.
Mumpung masih suasana lebaran, Si Teman juga mengajak untuk jalan-jalan ketempat temannya. Rumahnya tidak jauh, hanya berjalan kaki sudah sampai.
Kebetulan saat itu Si Dia ada dirumah. Dia pun mempersilah kami masuk dan duduk diatas kursi. Si dia merupakan seorang gadis ayu, dan saya rasa dia merupakan salah satu kembang desa yang ada disini.
Si Teman pun memperkenalkan kami satu persatu kepada Si Dia. Sebagai balasannya, Si Dia juga memperkenalkan diri sambil memberikan senyuman terbaik. Tapi ingat, itu senyuman bukan berarti mereka suka dari salah satu kami, melainkan sudah merupakan tatakrama ketika bertemu orang lain. Si Dia orangnya juga mandiri, buktinya yang membuatkan kami minuman adalah dia, bukan kakaknya, bukan adiknya, bukan ibunya, apalagi ayahnya.
Singkat cerita, pembicaraan kami semakin hangat dan ngelantur entah kemana. Tidak jarang juga, suara tawa pecah memenuhi langit-langit ruang tamu. Entah berapa kali suda kami menjemput kue yang ada diatas meja.
"Ayo dimakan juga kuenya. Se'an supan-supan". Saya mencoba untuk berbasa-basi kepada Si Dia dengan menggunakan bahasa Sambas.
Sejenak ruangan tamu menjadi lengang, baru kemudian dipenuhi oleh suara tawa. Terutama suara tawa Si Teman yang bunyinya paling keras. Usut punya usut ternyata kata-kata yang saya gunakan ada yang salah. Niatnya ingin begini 'jangan malu-malu' tapi malah menjadi begini 'tidak ada malu-malu'.
Se'an : tidak ada
Supan : malu
Saat kejadian tersebut, saya benar-benar merasa sangat malu. Mungin muka ini sudah terlihat seperti udang yang direbus (jangan dibayangkan, entar malah jadi lapar). Rasanya saat itu saya ingin menghilang atau memundurkan waktu biar bisa memperbaiki semuanya. Tapi sayang, saya bukan Doraemon yang punya banyak alat ajaib.
Meskipun begitu, sampai sekarang saya tidak pernah kapok untuk belajar bahasa Sambas. Malahan saya semakin kepo ketika ada kosakata bahasa Sambas yang belum diketahui. Bagaimana, ada yang berminat untuk mengajari saya bahasa Sambas. Tapi mesti tahan karena diri ini sering merasa sok tahu. Hehehe.
Nama tokoh sengaja tidak disebutkan.
Kejadian pada tahun 2010 silam.
EmoticonEmoticon