Perjalanan Ketapang. Suara ayam berkokok menghentikan tidur lelap panjang kami. Saya memaksakan untuk membuka mata, melawan dekapan rasa malas yang begitu erat. Belum lagi suasana pagi sungguh terasa dingin. Kabut embun pun malah masih tampak turun, membasahi rerumputan yang ada disekitar masjid.
Saya bergegas kekamar kecil, seperti biasa membuang sisa cairan yang sudah tidak dipakai. Baru setelah itu, mencuci muka dengan air yang mirip dari kulkas. Meskipun begitu, itu sungguh sangat menyegarkan. Membuat mata lebih terjaga.
Saya baru sadar, sepertinya tidak ada yang adzan subuh dimasjid ini. Atau mungkin saya yang tidak mendengar karena terlalu lelah setelah melakukan perjalanan? Ah mana mungkin pula. Selelap-lelapnya orang tidur dimasjid pasti akan sadar ketika suara adzan dikumandangkan. Lagian tidak mungkin pula orang yang datang kemasjid membiarkan kami tertidur sehingga tidak ikut sholat berjamaah. Iya kan?
Masjid yang berada jauh dipedalaman Kalimantan ini sungguh sangat berjasa dalam perjalanan kami. Selain sebagai tempat penginapan gratis, melainkan juga disini kami mengisi daya baterai ponsel yang hampir sakratul maut. Ditambah lagi mandi. Mungkin inilah yang dinamakan kalau masjid itu untuk kemaslahatan ummat. Tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusatnya menuntut ilmu dan tempat persinggahan bagi orang yang melakukan perjalanan jauh. Malam sebelumnya kami juga sempat izin menginap kepada tetangga yang sedang pulang kerumahnya.
Setelah mengemaskan segala barang bawaan, perjalanan menuju pusat Kota Ketapang kami lanjutkan kembali. Meskipun rasa dingin berbisik agar kami lebih baik bersantai dulu, sembari menunggu matahari sepenggalah naik.
Jalanan pagi itu terlihat lengang. Saking sepinya, kami bebas saja menggunakan jalur tetangga. Cuma mesti tetap hati-hati, karena bisa saja tiba-tiba muncul sebuah mobil yang melaju kencang. Tidak kebayangkan kalau terkena langgar dan kendaraan kami terpelanting nyangkut dipohon sawit.
Berbeda dengan semalam, kali ini kendaraan kami lebih sedikit lambat. Selain dikarenakan cuacanya yang dingin, melainkan kami juga ingin menikmati lebih banyak perjalanan, melihat pemandangan yang ada dikiri-kanan jalan. Kecuali jika dihadapan ada jalan yang menanjak, pastinya harus ancang-ancang dulu dengan kelajuan yang tinggi. Kalau disaat menanjak baru ingin melajukan kendaraan, yang ada malah motor kami mundur lagi kebelakang.
Panorama Keindahan Kabupaten Ketapang |
Panorama alam disepanjang perjalanan menuju Kota Ketapang memang begitu menawan. Dari jauh arah memandang, terbentang deretan bukit yang berdiri dengan kokohnya. Begitu juga kiri kanan kami, sudah berapa banyak bukit yang dilewati, hilang dan kemudian diganti dengan yang lainnya. Keindahan bukit semakin terlihat, tatkala kabut memahkotai puncaknya. Seringkali pula tampak seperti adanya kebakaran ditengah hijau dan rindangnya pepohonan.
Seperti jalanan sebelumnya, tidak hanya jalanan turun naik yang harus kami lewati, tetapi juga jalanan yang berkelok-kelok layaknya sedang mengikut tes izin mengemudi. Bedanya kalau disini berada dikaki bukit, salah sedikit langsung menabrak tebing atau terguling-guling didalam jurang. Lebih ekstrimkan?
Nah, dikelokan yang berjurang inilah banyak dijumpai para penjual durian. Mereka menghamparkan dagangannya dibawah gubuk bambu yang beratapkan terpal. Meskipun saat itu masih dikatakan sangat pagi, namun sudah banyak para pedagang yang membuka lapaknya.
Saya sempat berpikir sebenarnya apa alasan mereka berdagang ditempat yang berkelok? Kenapa tidak disekitar jalan lurus yang keamanannya lebih sedikit terjaga. Bukan apa-apa, saya hanya takut jika tiba-tiba saja ada kendaraan yang hilang kendali dan menabrak lapak mereka. Itu sangat berbahaya bung bagi keselamatan mereka. Tapi semoga saja itu tidak pernah terjadi.
Setelah melewati tempat yang serupa lagi, saya mulai menerka-nerka alasan mereka yang berjualan disekitar jalanan yang berkelok. Mungkin dikarenakan tempat mereka memanen buah durian ada disekitar situ. Jadi untuk mengefisienkan waktu akhirnya mereka membuka lapak tidak jauh dari pohon durian. Ketika ada buah yang jatuh, pedagangpun bisa langsung menjualnya.
Matahari mulai menampakkan dirinya dari balik sebuah bukit. Entah bukit apa namanya, yang pasti sebagian punggungnya berpencar warna jingga akibat cahaya matahari. Badan yang tadi kedinginan pun kini mulai berangsur hangat. Tidak ada lagi alasan untuk tidak melajukan kendaraan.
Dalam perjalanan, mata saya teralihkan ke seorang ibu yang berjalan dipinggir jalan. Dibelakangnya tergendong sebuah keranjang yang berisi tumpukan buah durian. Dalam masyarakat Dayak, keranjang itu disebut tankin. Keranjang yang terbuat dari rotan ini berfungsi untuk mengangkut tangkapan ikan dan berbagai hasil bumi lainnya.
Kurang lebih pukul 8 WIB, kami tiba di Kecamatan Sandai. Hiruk-pikuk aktivitas pagi jelas terlihat disini. Lalu lalang kendaraan, ibu-ibu yang pergi belanja dan bapak-bapak yang berbincang di warung kopi menjadi pemandangan yang lumrah dikawasan pasar.
Berhubung perut juga sudah lapar, maka kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di sebuah warung. Tapi sayang, warung yang disinggahi ini tidak menyediakan menu sabu (sarapan bubur) apalagi narkoba (nagasari korket bakwan). Nasi kuning pun juga tidak ada. Tidak ada pilihan lain, akhirnya kami memesan mie instan rasa ayam lengkap dengan telurnya.
Sebenarnya ini warung hanya sekedar untuk usaha sampingan. Disampingnya ada tempat pencucian kendaraan yang merupakan usaha utama. Nah karena itulah, untuk membuat pelanggan tidak terasa lama dan bosan menunggu, disediakanlah warung ini untuk tempat bersantai. Selain itu disini jugalah tempat transaksi pembayaran setelah kendaraan selesai dibersihkan.
Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya dua mangkuk mi instan tersaji diatas meja. Dengan asapnya yang mengepul, saya mulai menyendok sedikit kuahnya. Saya menambahkan sedikit perasan limau yang membuat aroma dan rasanya semakin menggoda. Seketika kami sibuk dengan sarapan.
Tidak lama kemudian ibu warung datang kembali, mengantarkan dua gelas air putih. Dengan sedikit perbincangan, ibu bertanya dari mana asal kami dan mau kemana. Saya menghabiskan dulu sisa mi yang ada didalam mulut, baru kemudian menjawab. Kemudian ibu yang saya prediksi berumur 45 tahun tersebut pergi menuju ke sebuah ember yang ada di pojok halaman.
Sambil menikmati sarapan yang sungguh nikmat dikala lapar, mata saya melirik ke ibu tadi. Dengan membincing sebuah ember, beliau menuju kesalah satu mobil berwarna hitam. Tangannya yang lincah, membuat tanah kuning yang masih nempel membandel hilang disetiap jengkal gosokannya.
Sarapan telah usai. Dengan bersandarkan disebuah kursi panjang, jari-jemari kami kembali berselancar diatas layar ponsel. Mumpung lagi banyak sinyal, kalau sudah melanjutkan perjalanan lagi pasti sinyalnya akan hilang. Kecuali kalau sudah sampai di kota kecamatan.
Saya pun mulai membuat status di media sosial, memberi kabar didunia maya mengenai petualangan kami hari ini. Ternyata saya kurang cepat, lebih duluan Yansah yang memposting foto dengan latar papan arah jalan. Satu hal aneh dari sisi dia, Yansah paling senang berfoto dengan view tersebut. Tidak jarang kami harus berhenti hanya untuk melakukan aksi ini.
"Dari mana dek?" Bapak yang sedang mecuci mobil tadi tiba-tiba ada disamping kami, duduk sambil membuka sebuah percakapan.
"Dari Pontianak, Pak." Saya berusaha menjawab.
Perbincangan saya bersama bapak tersebut semakin hangat. Kalau Yansah jangan ditanya, dia sibuk dengan layar ponselnya. Menanyakan keberadaan temannya yang berdomisili di Ketapang. Dari sekian banyak yang ditanya, masing-masing punya jawaban tersendiri. Ada yang bilang masih di Kota Pontianak, ada yang bilang mau jalan sama pacar, ada yang lagi liburan sama keluarga dan ada yang tiba-tiba putus kontak setelah ditanya "Bolehkah kami mampir dirumahmu?" Mungkin sinyal lagi bermasalah atau dia tiba-tiba terkena obat bius yang mengharusnya tidur panjang.
Dari perbincangan kami, bapak juga sempat menanyakan kenapa tahun barunya malah pergi ke kampung? Bukankah di Pontianak lebih meriah? Yah saya jawab saja ingin sekali-kali merasakan suasana pergantian tahun baru didaerahnya orang. Sontak bapak tersebut tertawa sambil mengatakan tidak ada serunya jika tahun baru disini. Sesekali juga menunjuk mobil yang melintas menuju Kota Pontianak. Maksud dari bapak itu adalah 'orang Ketapang saja ramai yang ke Pontianak, kenapa pula kalian yang datang kesini?'
Matahari semakin tinggi mendaki bukit. Rasanya sudah cukup lama untuk kami bersantai-santai di daerah Sandai. Kami pun izin kepada bapak dan ibu yang sungguh begitu ramah. Bahkan disaat kendaraan akan berangkat ibunya berkata "hati-hati dijalan".
Jika sebelumnya kebanyakan saya yang membawa kendaraan, sekarang giliran jatahnya Yansah. Cuma ada satu hal yang membuat saya khawatir adalah dia sering kali memainkan handphonnya ketika berkendara. Setiap saya memperingatinya selalu saja berkata santai. Ok, kalau gitu kecepatannya juga harus disantaikan. Jangan sampai karena selalu menganggap semuanya santai akhirnya berujung santai dirumah sakit. Pahamkan? Akhirnya tidak butuh waktu lama saya sudah mengambil alih motor.
Jalanan kali ini lebih sedikit ramai. Kami lebih sering menjumpai para pengendara, bahkan sering pula mobil tiba-tiba menyalip dari belakang. Pernah ada sebuah mobil yang seketika sudah berada disamping dengan jarak hanya sejengkal. Menyalip sih boleh, tapi tolong dijaga juga kenyamanan pengguna kendaraan yang lain. Dia sih enak yang lecet paling hanya bodi mobilnya. Sedangkan kami?
Selain itu, pemukiman juga semakin mudah dijumpai. Sesekali saya perhatikan bagian bumbungnya, terdapat ukiran naga yang menyilang. Meskipun sebagian besar rumah lebih modern, namun unsur-unsur tradisional masih bisa kita jumpai. Selain itu, terlihat juga bagaimana kesibukan masyarakat ketika bergotong royong membangun pohon natal yang besar.
Kendaraan kami masih melaju, menaiki dan menurun disebuah jalan yang mendaki bukit. Sesekali kami singgah, ketika menemukan spot wisata yang sangat menarik. Mumpung terlanjur lewat disini, esok lusa mungkin sudah lain lagi ceritanya.
Sekarang kami juga tidak perlu khawatir lagi untuk masalah bensin. Sekarang lebih mudah untuk menemukan tempat pengisian bahan bakar dipinggir jalan. Seandainya pun pertamina belum diketemukan, masih ada penjual eceran yang menjualnya.
Semakin panjang perjalanan, semakin banyak hal unik pula yang ditemukan. Salah satunya adalah bagaimana keelokan rumah adat dari suku Dayak. Meskipun pada akhirnya tidak sempat mampir, karena orang yang sedang diboncengi tidak mau untuk singgah.
Salah duanya yang menarik dalam perjalanan kali ini adalah melihat pemakaman dari masyarakat suku Dayak. Uniknya kuburan disini adalah diatasnya ada berbagai macam barang punyanya yang meninggal. Seperti televisi, radio dan berbagai jenis lainnya. Sebagai informasi, hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak, bahwa setiap yang meninggal akan diikutsertakan juga dengan barang kesayangannya.
Kurang lebih satu jam perjalanan, kami kembali sampai di sebuah kota kecamatan. Kali ini adalah Nanga Tayap, 346 kilometer dari Kota Pontianak. Kami saat itu hanya melewati pasarnya, yang sedang ramai oleh para pengunjung. Untuk menjaga keamanan, saya memperlambat laju kendaraan agar tidak menyeruduk maupun diseruduk.
Saya memperhatikan bangunan-bangunan yang ada di pinggir jalan. Sekilas, pasar Nanga Tayap terlihat seperti kota tua, dengan bangunan ruko buatan tempo dulu. Mungkin daerah ini dulunya sempat menjadi salah satu pusat perdagangan didaerah pedalaman.
Nanga Tayap kami lalui begitu saja. Kali ini kami sedikit mengalami kendala dalam menentukan arah jalan. Google map yang selama ini memandu kami mengarahkan ke sebuah jalan tanah kuning. Dari bentuknya, sepertinya ini merupakan jalan milik perusahaan sawit untuk mendistribusikan hasil panennya. Melihat Yansah yang kebingungan membuat saya menghentikan dulu kendaraan. Berharap ada orang yang lewat sekaligus numpang bertanya.
Setelah lima menit, tak ada satu pun para pengendara yang lewat. Terkaan saya yang menganggap jalan dihadapan kami adalah jalan pintas, berubah menjadi anggapan kalau pemandu pintar kami lagi eror. Akhirnya kami memutar arah dan kembali menyusuri Jalan utama, Transkalimantan.
Sepanjang perjalanan kami berharap ada masyarakat dipinggir jalan yang bisa ditanya. Namun ternyata tidak. Hanya ada satu pengguna jalan, yang sedang menghentikan kendaraannya. Namun itu adalah cewek, takut pula kami nanti dikira maling atau lelaki jalang yang sedang mencari mangsa. Hingga akhirnya kami sampai disebuah persimpangan tiga. Dipapan penunjuk arah tertera, jika lurus akan menuju Kalimantan Tengah. Sedangkan belok kanan akan menuju ke hati adek. Hiyak...
Kendaraan berbelok kekanan menuju arah Tumbang Kacang. Kali ini kendaraan diserahkan sepenuhnya kepada Yansah untuk membawa. Kondisi jalan sedikit berbeda, dimana kemulusannya lebih terasa kasar. Hal itu bisa dirasakan melalui desiran ban bahkan lewat mata telanjang sekalipun terlihat. Tidak jarang pula, lubang menambah estetika seni dari jalan yang dilalui ini.
Deretan rumah dijalan ini cukup banyak. Bahkan kami harus lebih memperlambat laju kendaraan karena banyaknya anak kecil. Orang-orang dewasa pun tidak jarang kami temui, mereka bersantai diteras rumah sambil meyeruput segelas minuman. Setelah melalui jalan yang ramai ini, kami kembali menemukan jalanan yang sepi.
Kami kembali menemukan persimpangan tiga. Mengikuti petunjuk google map, kami memilih untuk berbelok kanan melalui jalan yang bertanah kuning. Banyak batu pula. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk berhenti, sambil memastikan lagi kebenaran informasi yang ada dilayar ponsel.
Lagi-lagi tidak ada satu orang pun yang lewat. Hingga akhirnya kami beranggapan bahwa google map betul-betul eror dan segera memutuskan untuk memutar arah, kembali ke jalan yang utama. 50 meter setelah keluar, seorang ibu-ibu sedang tampak membersihkan halaman rumahnya. Kami menghampiri dan kemudian mengutarakan maksud dan tujuan. Apakah ibu memiliki anak gadis yang siap dipinang?
"Kalau mau ke Sungai Melayu lewat jalan ini juga bisa, cuma mutarnya jauh. Tapi kalau mau lebih dekat, lewat arah jalan itu saja". Ibu tersebut menjelaskan sambil menunjuk sebuah jalan. Itu adalah persimpangan tiga, tempat yang tadinya sempat kami masuki.
Berhubung ibunya tidak memiliki anak gadis, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Masuk kembali kejalan tanah kuning yang bebatuan. Seandainya saja ini jalan bisa berbicara, mungkin mereka akan bertanya seperti ini.
"Hei anak malang yang sedang liburan dengan biaya terbatas, kenapa kembali lagi kesini?" Tanya sijalan dengan nada yang menghardik.
"Kami sedang mencari barang yang terjatuh." Mungkin ini jawaban yang tepat.
Setidaknya banyak pelajaran setelah kejadian tersebut. Yang pertama adalah kami telah suudzon sama google map, padahal dia telah menunjuki kami jalan yang lurus. Oleh karena itulah, didalam perjalanan kami lebih banyak beristighfar. Yang kedua adalah malu bertanya. Padahal dari SD sudah diajarkan, kalau orang yang malu bertanya itu akan sesat dijalan. Contohnya ini.
Kurang lebih sepuluh menit perjalanan, kami bertemu dengan banyak kendaraan. Mereka keluar dari arah jalan yang ada disebelah kanan kami. Pikiran saya mulai melayang-melayang sambil memutar kembali memori perjalanan sebelumnya. Apa mungkin mereka lewat jalan sawit yang sempat kami masuki? Kalau memang itu benar, berarti kami telah memutar jauh.
Perjalanan memang memberikan kita banyak pelajaran. Selain banyak tahu tentang daerah orang lain, tetapi juga ajang untuk melatih kesabaran, bagaimana sabar ketika ingin sampai ditujuan. Kadang yang didapatkanpun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Yang semulanya ingin sampai lebih cepat, eh malah kesasar dan tiba dalam waktu yang lama. Tapi yakinlah, rencana Tuhan itu selalu baik dan selalu saja ada hikmahnya. Salah satunya adalah bisa berbagi senyuman dengan ibu yang tadi.
Setelah melewati jalan tanah kuning, kami kembali melalui jalanan yang beraspal. Meskipun kualitasnya tidak semulus seperti jalan miliknya provinsi. Dari sinilah saya sempat melontarkan pertanyaan kepada Yansah, mengapa jalan aspal antar kecamatan itu rata-rata cepat rusak? Setidaknya ada dua kemungkinan dari hasil diskusi santai kami ini. Yang pertama adalah karena memang kontur tanahnya yang belum padat. Sedangkan yang kedua adalah dananya minim, belum lagi ditambah potong sana potong sini. Kami pun tertawa, larut dalam sapuan angin perjalanan.
Ditengah lajunya kendaraan, pandangan saya tertuju pada sekelompok orang yang sedang bersantai dibawah rimbunan pohon karet. Dari jauh mereka tampak senang, sambil mengabadikan gambar melalui kamera. Tempat tersebut memang sangat menarik. Sepanjang jauh memandang, sepanjang itu pula deretan pohon karet berbaris rapi. Tidak hanya itu, terlihat pula rombongan keluarga yang menyantap makanan. Pokoknya tidak kalah menariklah dengan wisata hutan pinus yang ada dipulau Jawa.
Belum lama menyaksikan rimbunan pohon karet, kami kembali disuguhkan dengan keindahan alam Sang Pencipta. Sebelah kiri arah jalan tampak sepasang bukit yang begitu menawan dipandang. Warna hijau ilalang yang terhampar luas membuat bukit tersebut layak seperti padang bermainnya teletubies.
Saya menepuk pundak Yansah, sambil memberi kode untuk mampir. Kendaraan kami pun masuk ke sebuah jalan gang yang bernama gang Bukit Indah. Tidak banyak rumah warga yang dijumpai. Semakin jauh masuk kedalam, semakin rindang pula pohon yang ditemukan.
Motor berhenti ketika tiba ditikungan jalan. Entah apa pula yang membuat Yansah menghentikan kendaraan, yang pastinya dihadapan kami jalan semakin kecil dan deretan pohon semakin lebat.
"Ada apa Yan?" Tanya saya kepada Yansah dengan keheranan.
"Kita putar arah saja. Dan melanjutkan kembali perjalanan." Yansah menjelaskan sambil melihat saya dari kaca spion sebelah kanan.
Awalnya saya menolak dan mencoba untuk meyakinkannya bahwa tempat cantik yang mirip seperti Bukit Teletubbies itu sudah dekat. Tidak jauh dari tempat pemberhentian kami pun terlihat sebuah jalan setapak yang mungkin saja itu jalur menuju kaki bukit. Namun dengan alasan tujuan perjalanan yang masih panjang, akhirnya saya mengalah demi sesuatu yang harus diprioritaskan. Perlahan kendaraan kami menuju keluar.
Meskipun niat untuk ketempat tersebut diurungkan, tetapi bukan berarti mengabadikan momen juga harus ditiadakan. Saya dan Yansah kembali memasuki sebuah gang yang persis ada diseberang jalan. Disinilah sebuah lukisan indah milik Tuhan diabadikan. Sekedar informasi, tempat cantik yang disinggahi ini bernama Desa Lalang Panjang Kecamatan Pemahan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Entah sudah berapa kilometer jalur yang kami susuri. Yang pasti, kami sudah terlampau jauh dari kemacetan jalan ibu kota provinsi disaat sore hari.
Kecepatan kendaraan sedikit terhambat ketika kami memasuki wilayah Sungai Melayu. Jalanan yang berlubang-lubang dan bebatuan yang menyembul membuat harus lebih hati-hati. Tidak hanya keamanan kami saja yang terancam, tetapi juga bisa-bisa kami melanggar pengendara lainnya. Apalagi ketika tiba disini semakin ramai jumlah penduduknya.
Saya berusaha santai, sambil menikmati goyangan motor yang mulai tidak karuan. Kadang sesekali kaki tergelincir, membuat keseimbangan kendaraan susah terkendali. Seandainya saja persendian ini bisa bicara, mungkin ia akan berteriak untuk menghentikan perjalanan. Namun yang pastinya seluruh badan sungguh terasa encok.
Setelah melewati jalan panjang yang melelahkan tersebut, kami akhirnya tiba dimasjid Indotani pada pukul 13.00 WIB. Menarik bukan setelah mendengar nama tempat ibadahnya? Disinilah, kami harus beristirat panjang akibat hujan yang datang tiba- tiba.
Ditengah bunyi rinai hujan, saya bersandar didinding masjid sambil meluruskan kaki. Dari sekian rute yang kami lalui, jalur barusan adalah jalur yang paling bermasalah. Bukan hanya menyusahkan kami saja, tapi juga para pengguna kendara lainnya. Jadi jangan heran jika dijalanan banyak motor dan orang yang berjoget tidak karuan sambil diiringi hentakan bawah mesin menyentuh batu.
Sambil bersantai, saya raba-raba bagian pinggang. Lalu turun ke kaki sambil menekannya. Bukan apa? Takutnya ada engsel yang lepas atau baut yang tanggal. Kan bisa jadi masalah kalau sampai hal tersebut terjadi. Hehe.
Pukul sudah menunjukkan 16.30 WIB. Rasanya sudah sangat lama kami terjebak dalam hujan yang deras. Namun syukurnya kami berteduh di masjid sehingga bisa meluruskan badan sekalian mengisi daya ponsel. Saya menatap jendela, memperhatikan sebuah warung yang membuat perut semakin terasa lapar.
Tidak lama kemudian, derasnya air yang turun kebumi mulai berkurang. Tanpa membuang waktu lagi, kami pun langsung bergegas melanjutkan perjalanan. Belum jauh dari arah masjid Indotani, kami sudah berhadapan dengan macetnya jalan. Dihadapan kami sudah berantrian kendaraan yang melalui jembatan sementara dari arah seberang. Disisi kanan, terlihat kesibukan para pekerja yang sedang melaksanakan tugasnya.
Lagi-lagi air dari langit turun deras, yang seakan-akan mengolok perjalanan kami. Kendaraan pun menepi disebuah warung tak jauh dari lokasi pembangunan jembatan. Tidak ada nama warungnya, tapi yang pastinya tempat ini bisa melindungi kami dari guyuran hujan sekaligus tempat persinggahan untuk mengisi perut yang sudah lapar.
"Pak, mau beli nasi." Saya memanggil bapak pemilik warung yang sedang duduk bersandar dikursi panjang.
"Silahkan dek, ambil sendiri makanannya." Bapak tua yang umurnya saya prediksi sekitar 60 tahun tersebut mempersilahkan kami.
Tanpa merasa canggung, saya langsung membuka tirai etalase. Tidak banyak lauk pilihan yang ada disana. Hanya ada ikan, telur dadar, tempe, sayur dan sambal. Saya setengah berteriak kearah bapak, untuk menanyakan ikan apa yang sedang terhidang. Bapak tersebut berkata kalau itu adalah ikan tapa, spesies ikan air tawar yang banyak ditemukan disungai Kalimantan. Oi, sudah lama tidak mencicipinya.
Potongan Ikan tapah mendarat manis diatas piring. Sejenak saya teringat bagaimana cerita seru tentang spesies air tawar ini. Dulu sebelum parit tercemar, untuk mendapatkan ikan ini sangatlah mudah. Tinggal turun keparit saja sambil menangguk dibawah pohon nipah sudah dapat tiga sampai empat ekor. Jika beruntung malah bisa lebih banyak. Kalau sekarang? Sudah sangat susah, setelah pendangkalan dan pencemaran air semakin merajalela. Namun dibeberapa tempat, keberadaan ikan ini masih sangat terjaga kelestariannya.
Saya sangat lahap menikmati makanan tersebut. Apalagi ditengah derasnya hujan yang sedang mengguyur Sungai Melayu. Belum lagi dalam satu hari ini kami hanya sekali makan, itupun menunya adalah mie instan. Memang betul apa yang dikatakan orang, nikmatnya makanan itu akan sangat terasa ketika lapar sedang mendera.
Hari semakin sore. Langit mulai terlihat redup bersama jutaan tetesan hujan yang membasahi bumi. Saya mulai khawatir apakah malam ini akan tiba di Kota Ketapang? Jika tidak, tentu kacau balaulah niat kami yang ingin tahun baru disana. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan disaat hujan tidak terlalu lebat.
Membawa motor disaat hujan bisa dikatakan enak-enak susah. Enaknya jalan terlihat lebih lengang dan bisa mencicipi minuman gratis lagi segar. Susahnya adalah jarak pandang semakin berkurang dan mendapatkan serangan dibagian wajah. Iya, air hujan yang jatuh dimuka tidak ada ubahnya seperti jarum suntik. Ingin menutup kaca helm malah pandangan menjadi gelap. Bisa-bisa kami keluar jalur dan tergelincir direrumputan.
Kendaraan melaju ditengah jalan yang berbasahkan hujan. Siang pun perlahan mulai dilahap gelapnya malam. Sepanjang perjalanan, tak banyak rumah yang dijumpai. Hanya padang rerumputan luas sejauh mata memandang.
Padang rerumputan? Saya langsung teringat dengan cerita teman dikampus mengenai tempat misterius yang ada di Ketapang. Katanya, daerah tersebut bernama padang dua belas yang hanya berisikan tumbuhan rumput. Konon, disitu ada sebuah kerajaan besar yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Penghuninya pun merupakan makhluk ghaib yang orang setempat menyebutnya sebagai orang kebenaran.
Orang kebenaran tersebut memiliki ciri tersendiri, yaitu tidak memiliki garis diantara hidung dan bibirnya. Katanya, jika mereka memberikan kunyit kepada kita maka akan berubah menjadi emas. Tidak hanya itu, kata teman-teman, Rhoma irama sempat mengatakan pernah konser disana. Tetapi yang ditampakkan bukan padang rumput yang luas, melainkan sebuah kota dengan bangunan yang megah. Benar atau tidaknya cerita tersebut, yang pasti ada sisi lain yang tidak kita ketahui.
Saya menyeka air yang mengalir diwajah. Entah beberapa kali air menerobos pelupuk mata yang menyebabkan rasa perih. Dibelakang, Yansah hanya terdiam dengan raut wajah yang pasrah. Menerima kalau hujan tak berkesudahan dan membasahi sebagian pakaiannya. Inilah kesalahan fatal kami yang hanya membawa satu mantel ketika melakukan perjalanan jauh. Itupun mantel baju yang hanya bisa digunakan satu orang.
Langit sudah benar-benar gelap. Tidak ada lampu lain yang menerangi jalanan kecuali lampu kendaraan. Rumah penduduk pun belum ada yang telihat. Hanya rinai-rinai hujan yang menari didekapan cahaya. Saya melihat kearah jam tangan, tahu kalau sekarang sudah waktunya maghrib.
Laju motor diperlambat. Bukan karena jalanan yang semakin susah atau kami ingin mencari tempat persinggahan, melainkan karena sebuah kendaraan didepan kami. Kendaraan tersebut tidak berlampu dan merayap pelan dipinggiran jalan. Saya pun berusaha menyinarinya dari belakang. Tapi ingat, kami menolong bukan karena ingin mendapatkan kunyit emas. Melainkan karena panggilan rasa kemanusiaan lah yang menggerakkan hati untuk bertindak.
Hujan perlahan mulai redah. Jalanan yang tadinya sepi oleh kendaraan sekarang lebih ramai. Kami tiba di Kota Ketapang kurang lebih pada pukul 20.00 WIB. Laju motor semakin melambat akibat banyaknya volume kendaraan. Terlebih anak-anak muda yang membawa kendaraan semaunya saja, seolah-olah punya nyawa tiga. Yang sudah berkeluarga pun tidak mau kalah, mereka terlihat antusias menyiapkan pembakaran dihalaman depan rumah. Bahkan ada yang saling adu musik dangdut, yang jaraknya hanya di pisahkan satu rumah.
Hiruk-pikuk semakin terlihat ketika masuk dikawasan pasar. Tidak hanya cafe-cafe yang memanen rezeki pada malam ini, tetapi juga para pedagang kaki lima yang menjual atribut malam tahun baru dan makanan. Tidak jauh dari kami juga terlihat seorang anak kecil yang sedang merengek untuk minta dibelikan terompet. 'ayo ma, belikan saya satu', kurang lebih begitulah maksud raut wajah si kecil.
Dari jauh sudah tampak jembatan Pawan 1 yang menghubungkan kedaerah seberang. Kendaraan yang akan lewat tidak ada ubahnya seperti semut yang sedang berjalan. Diatas jembatan saya bergumam dalam hati 'akhirnya tiba juga di pusat Kota Ketapang'. Oh Sungai Pawan, dulu saya hanya bisa mendengar namamu ketika dinyanyikan. Namun sekarang keindahanmu sudah ada didepan mata, bercahayakan lampu malam yang sungguh mempesona. Saya tersenyum-senyum sendiri, sampai tidak sadar kalau didepan sudah berdiri tugu ale-ale, maskotnya Kota Ketapang.
Baca juga:
Perjalanan Panjang Menuju Ketapang Part 1
Perjalanan Nekat ke Perbatasan Indonesia Malaysia
Kurang lebih pukul 8 WIB, kami tiba di Kecamatan Sandai. Hiruk-pikuk aktivitas pagi jelas terlihat disini. Lalu lalang kendaraan, ibu-ibu yang pergi belanja dan bapak-bapak yang berbincang di warung kopi menjadi pemandangan yang lumrah dikawasan pasar.
Berhubung perut juga sudah lapar, maka kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di sebuah warung. Tapi sayang, warung yang disinggahi ini tidak menyediakan menu sabu (sarapan bubur) apalagi narkoba (nagasari korket bakwan). Nasi kuning pun juga tidak ada. Tidak ada pilihan lain, akhirnya kami memesan mie instan rasa ayam lengkap dengan telurnya.
Sebenarnya ini warung hanya sekedar untuk usaha sampingan. Disampingnya ada tempat pencucian kendaraan yang merupakan usaha utama. Nah karena itulah, untuk membuat pelanggan tidak terasa lama dan bosan menunggu, disediakanlah warung ini untuk tempat bersantai. Selain itu disini jugalah tempat transaksi pembayaran setelah kendaraan selesai dibersihkan.
Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya dua mangkuk mi instan tersaji diatas meja. Dengan asapnya yang mengepul, saya mulai menyendok sedikit kuahnya. Saya menambahkan sedikit perasan limau yang membuat aroma dan rasanya semakin menggoda. Seketika kami sibuk dengan sarapan.
Tidak lama kemudian ibu warung datang kembali, mengantarkan dua gelas air putih. Dengan sedikit perbincangan, ibu bertanya dari mana asal kami dan mau kemana. Saya menghabiskan dulu sisa mi yang ada didalam mulut, baru kemudian menjawab. Kemudian ibu yang saya prediksi berumur 45 tahun tersebut pergi menuju ke sebuah ember yang ada di pojok halaman.
Sambil menikmati sarapan yang sungguh nikmat dikala lapar, mata saya melirik ke ibu tadi. Dengan membincing sebuah ember, beliau menuju kesalah satu mobil berwarna hitam. Tangannya yang lincah, membuat tanah kuning yang masih nempel membandel hilang disetiap jengkal gosokannya.
Sarapan telah usai. Dengan bersandarkan disebuah kursi panjang, jari-jemari kami kembali berselancar diatas layar ponsel. Mumpung lagi banyak sinyal, kalau sudah melanjutkan perjalanan lagi pasti sinyalnya akan hilang. Kecuali kalau sudah sampai di kota kecamatan.
Saya pun mulai membuat status di media sosial, memberi kabar didunia maya mengenai petualangan kami hari ini. Ternyata saya kurang cepat, lebih duluan Yansah yang memposting foto dengan latar papan arah jalan. Satu hal aneh dari sisi dia, Yansah paling senang berfoto dengan view tersebut. Tidak jarang kami harus berhenti hanya untuk melakukan aksi ini.
"Dari mana dek?" Bapak yang sedang mecuci mobil tadi tiba-tiba ada disamping kami, duduk sambil membuka sebuah percakapan.
"Dari Pontianak, Pak." Saya berusaha menjawab.
Perbincangan saya bersama bapak tersebut semakin hangat. Kalau Yansah jangan ditanya, dia sibuk dengan layar ponselnya. Menanyakan keberadaan temannya yang berdomisili di Ketapang. Dari sekian banyak yang ditanya, masing-masing punya jawaban tersendiri. Ada yang bilang masih di Kota Pontianak, ada yang bilang mau jalan sama pacar, ada yang lagi liburan sama keluarga dan ada yang tiba-tiba putus kontak setelah ditanya "Bolehkah kami mampir dirumahmu?" Mungkin sinyal lagi bermasalah atau dia tiba-tiba terkena obat bius yang mengharusnya tidur panjang.
Dari perbincangan kami, bapak juga sempat menanyakan kenapa tahun barunya malah pergi ke kampung? Bukankah di Pontianak lebih meriah? Yah saya jawab saja ingin sekali-kali merasakan suasana pergantian tahun baru didaerahnya orang. Sontak bapak tersebut tertawa sambil mengatakan tidak ada serunya jika tahun baru disini. Sesekali juga menunjuk mobil yang melintas menuju Kota Pontianak. Maksud dari bapak itu adalah 'orang Ketapang saja ramai yang ke Pontianak, kenapa pula kalian yang datang kesini?'
Matahari semakin tinggi mendaki bukit. Rasanya sudah cukup lama untuk kami bersantai-santai di daerah Sandai. Kami pun izin kepada bapak dan ibu yang sungguh begitu ramah. Bahkan disaat kendaraan akan berangkat ibunya berkata "hati-hati dijalan".
Jika sebelumnya kebanyakan saya yang membawa kendaraan, sekarang giliran jatahnya Yansah. Cuma ada satu hal yang membuat saya khawatir adalah dia sering kali memainkan handphonnya ketika berkendara. Setiap saya memperingatinya selalu saja berkata santai. Ok, kalau gitu kecepatannya juga harus disantaikan. Jangan sampai karena selalu menganggap semuanya santai akhirnya berujung santai dirumah sakit. Pahamkan? Akhirnya tidak butuh waktu lama saya sudah mengambil alih motor.
Jalanan kali ini lebih sedikit ramai. Kami lebih sering menjumpai para pengendara, bahkan sering pula mobil tiba-tiba menyalip dari belakang. Pernah ada sebuah mobil yang seketika sudah berada disamping dengan jarak hanya sejengkal. Menyalip sih boleh, tapi tolong dijaga juga kenyamanan pengguna kendaraan yang lain. Dia sih enak yang lecet paling hanya bodi mobilnya. Sedangkan kami?
Selain itu, pemukiman juga semakin mudah dijumpai. Sesekali saya perhatikan bagian bumbungnya, terdapat ukiran naga yang menyilang. Meskipun sebagian besar rumah lebih modern, namun unsur-unsur tradisional masih bisa kita jumpai. Selain itu, terlihat juga bagaimana kesibukan masyarakat ketika bergotong royong membangun pohon natal yang besar.
Kendaraan kami masih melaju, menaiki dan menurun disebuah jalan yang mendaki bukit. Sesekali kami singgah, ketika menemukan spot wisata yang sangat menarik. Mumpung terlanjur lewat disini, esok lusa mungkin sudah lain lagi ceritanya.
Sekarang kami juga tidak perlu khawatir lagi untuk masalah bensin. Sekarang lebih mudah untuk menemukan tempat pengisian bahan bakar dipinggir jalan. Seandainya pun pertamina belum diketemukan, masih ada penjual eceran yang menjualnya.
Semakin panjang perjalanan, semakin banyak hal unik pula yang ditemukan. Salah satunya adalah bagaimana keelokan rumah adat dari suku Dayak. Meskipun pada akhirnya tidak sempat mampir, karena orang yang sedang diboncengi tidak mau untuk singgah.
Salah duanya yang menarik dalam perjalanan kali ini adalah melihat pemakaman dari masyarakat suku Dayak. Uniknya kuburan disini adalah diatasnya ada berbagai macam barang punyanya yang meninggal. Seperti televisi, radio dan berbagai jenis lainnya. Sebagai informasi, hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak, bahwa setiap yang meninggal akan diikutsertakan juga dengan barang kesayangannya.
Kurang lebih satu jam perjalanan, kami kembali sampai di sebuah kota kecamatan. Kali ini adalah Nanga Tayap, 346 kilometer dari Kota Pontianak. Kami saat itu hanya melewati pasarnya, yang sedang ramai oleh para pengunjung. Untuk menjaga keamanan, saya memperlambat laju kendaraan agar tidak menyeruduk maupun diseruduk.
Saya memperhatikan bangunan-bangunan yang ada di pinggir jalan. Sekilas, pasar Nanga Tayap terlihat seperti kota tua, dengan bangunan ruko buatan tempo dulu. Mungkin daerah ini dulunya sempat menjadi salah satu pusat perdagangan didaerah pedalaman.
Nanga Tayap kami lalui begitu saja. Kali ini kami sedikit mengalami kendala dalam menentukan arah jalan. Google map yang selama ini memandu kami mengarahkan ke sebuah jalan tanah kuning. Dari bentuknya, sepertinya ini merupakan jalan milik perusahaan sawit untuk mendistribusikan hasil panennya. Melihat Yansah yang kebingungan membuat saya menghentikan dulu kendaraan. Berharap ada orang yang lewat sekaligus numpang bertanya.
Setelah lima menit, tak ada satu pun para pengendara yang lewat. Terkaan saya yang menganggap jalan dihadapan kami adalah jalan pintas, berubah menjadi anggapan kalau pemandu pintar kami lagi eror. Akhirnya kami memutar arah dan kembali menyusuri Jalan utama, Transkalimantan.
Sepanjang perjalanan kami berharap ada masyarakat dipinggir jalan yang bisa ditanya. Namun ternyata tidak. Hanya ada satu pengguna jalan, yang sedang menghentikan kendaraannya. Namun itu adalah cewek, takut pula kami nanti dikira maling atau lelaki jalang yang sedang mencari mangsa. Hingga akhirnya kami sampai disebuah persimpangan tiga. Dipapan penunjuk arah tertera, jika lurus akan menuju Kalimantan Tengah. Sedangkan belok kanan akan menuju ke hati adek. Hiyak...
Kendaraan berbelok kekanan menuju arah Tumbang Kacang. Kali ini kendaraan diserahkan sepenuhnya kepada Yansah untuk membawa. Kondisi jalan sedikit berbeda, dimana kemulusannya lebih terasa kasar. Hal itu bisa dirasakan melalui desiran ban bahkan lewat mata telanjang sekalipun terlihat. Tidak jarang pula, lubang menambah estetika seni dari jalan yang dilalui ini.
Deretan rumah dijalan ini cukup banyak. Bahkan kami harus lebih memperlambat laju kendaraan karena banyaknya anak kecil. Orang-orang dewasa pun tidak jarang kami temui, mereka bersantai diteras rumah sambil meyeruput segelas minuman. Setelah melalui jalan yang ramai ini, kami kembali menemukan jalanan yang sepi.
Kami kembali menemukan persimpangan tiga. Mengikuti petunjuk google map, kami memilih untuk berbelok kanan melalui jalan yang bertanah kuning. Banyak batu pula. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk berhenti, sambil memastikan lagi kebenaran informasi yang ada dilayar ponsel.
Lagi-lagi tidak ada satu orang pun yang lewat. Hingga akhirnya kami beranggapan bahwa google map betul-betul eror dan segera memutuskan untuk memutar arah, kembali ke jalan yang utama. 50 meter setelah keluar, seorang ibu-ibu sedang tampak membersihkan halaman rumahnya. Kami menghampiri dan kemudian mengutarakan maksud dan tujuan. Apakah ibu memiliki anak gadis yang siap dipinang?
"Kalau mau ke Sungai Melayu lewat jalan ini juga bisa, cuma mutarnya jauh. Tapi kalau mau lebih dekat, lewat arah jalan itu saja". Ibu tersebut menjelaskan sambil menunjuk sebuah jalan. Itu adalah persimpangan tiga, tempat yang tadinya sempat kami masuki.
Berhubung ibunya tidak memiliki anak gadis, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Masuk kembali kejalan tanah kuning yang bebatuan. Seandainya saja ini jalan bisa berbicara, mungkin mereka akan bertanya seperti ini.
"Hei anak malang yang sedang liburan dengan biaya terbatas, kenapa kembali lagi kesini?" Tanya sijalan dengan nada yang menghardik.
"Kami sedang mencari barang yang terjatuh." Mungkin ini jawaban yang tepat.
Setidaknya banyak pelajaran setelah kejadian tersebut. Yang pertama adalah kami telah suudzon sama google map, padahal dia telah menunjuki kami jalan yang lurus. Oleh karena itulah, didalam perjalanan kami lebih banyak beristighfar. Yang kedua adalah malu bertanya. Padahal dari SD sudah diajarkan, kalau orang yang malu bertanya itu akan sesat dijalan. Contohnya ini.
Kurang lebih sepuluh menit perjalanan, kami bertemu dengan banyak kendaraan. Mereka keluar dari arah jalan yang ada disebelah kanan kami. Pikiran saya mulai melayang-melayang sambil memutar kembali memori perjalanan sebelumnya. Apa mungkin mereka lewat jalan sawit yang sempat kami masuki? Kalau memang itu benar, berarti kami telah memutar jauh.
Jumpa Kata Bijak di Jalanan |
Perjalanan memang memberikan kita banyak pelajaran. Selain banyak tahu tentang daerah orang lain, tetapi juga ajang untuk melatih kesabaran, bagaimana sabar ketika ingin sampai ditujuan. Kadang yang didapatkanpun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Yang semulanya ingin sampai lebih cepat, eh malah kesasar dan tiba dalam waktu yang lama. Tapi yakinlah, rencana Tuhan itu selalu baik dan selalu saja ada hikmahnya. Salah satunya adalah bisa berbagi senyuman dengan ibu yang tadi.
Setelah melewati jalan tanah kuning, kami kembali melalui jalanan yang beraspal. Meskipun kualitasnya tidak semulus seperti jalan miliknya provinsi. Dari sinilah saya sempat melontarkan pertanyaan kepada Yansah, mengapa jalan aspal antar kecamatan itu rata-rata cepat rusak? Setidaknya ada dua kemungkinan dari hasil diskusi santai kami ini. Yang pertama adalah karena memang kontur tanahnya yang belum padat. Sedangkan yang kedua adalah dananya minim, belum lagi ditambah potong sana potong sini. Kami pun tertawa, larut dalam sapuan angin perjalanan.
Ditengah lajunya kendaraan, pandangan saya tertuju pada sekelompok orang yang sedang bersantai dibawah rimbunan pohon karet. Dari jauh mereka tampak senang, sambil mengabadikan gambar melalui kamera. Tempat tersebut memang sangat menarik. Sepanjang jauh memandang, sepanjang itu pula deretan pohon karet berbaris rapi. Tidak hanya itu, terlihat pula rombongan keluarga yang menyantap makanan. Pokoknya tidak kalah menariklah dengan wisata hutan pinus yang ada dipulau Jawa.
Belum lama menyaksikan rimbunan pohon karet, kami kembali disuguhkan dengan keindahan alam Sang Pencipta. Sebelah kiri arah jalan tampak sepasang bukit yang begitu menawan dipandang. Warna hijau ilalang yang terhampar luas membuat bukit tersebut layak seperti padang bermainnya teletubies.
Saya menepuk pundak Yansah, sambil memberi kode untuk mampir. Kendaraan kami pun masuk ke sebuah jalan gang yang bernama gang Bukit Indah. Tidak banyak rumah warga yang dijumpai. Semakin jauh masuk kedalam, semakin rindang pula pohon yang ditemukan.
Motor berhenti ketika tiba ditikungan jalan. Entah apa pula yang membuat Yansah menghentikan kendaraan, yang pastinya dihadapan kami jalan semakin kecil dan deretan pohon semakin lebat.
"Ada apa Yan?" Tanya saya kepada Yansah dengan keheranan.
"Kita putar arah saja. Dan melanjutkan kembali perjalanan." Yansah menjelaskan sambil melihat saya dari kaca spion sebelah kanan.
Awalnya saya menolak dan mencoba untuk meyakinkannya bahwa tempat cantik yang mirip seperti Bukit Teletubbies itu sudah dekat. Tidak jauh dari tempat pemberhentian kami pun terlihat sebuah jalan setapak yang mungkin saja itu jalur menuju kaki bukit. Namun dengan alasan tujuan perjalanan yang masih panjang, akhirnya saya mengalah demi sesuatu yang harus diprioritaskan. Perlahan kendaraan kami menuju keluar.
Meskipun niat untuk ketempat tersebut diurungkan, tetapi bukan berarti mengabadikan momen juga harus ditiadakan. Saya dan Yansah kembali memasuki sebuah gang yang persis ada diseberang jalan. Disinilah sebuah lukisan indah milik Tuhan diabadikan. Sekedar informasi, tempat cantik yang disinggahi ini bernama Desa Lalang Panjang Kecamatan Pemahan.
Bukit Teletubbies Kabupaten Ketapang |
Perjalanan kembali dilanjutkan. Entah sudah berapa kilometer jalur yang kami susuri. Yang pasti, kami sudah terlampau jauh dari kemacetan jalan ibu kota provinsi disaat sore hari.
Kecepatan kendaraan sedikit terhambat ketika kami memasuki wilayah Sungai Melayu. Jalanan yang berlubang-lubang dan bebatuan yang menyembul membuat harus lebih hati-hati. Tidak hanya keamanan kami saja yang terancam, tetapi juga bisa-bisa kami melanggar pengendara lainnya. Apalagi ketika tiba disini semakin ramai jumlah penduduknya.
Saya berusaha santai, sambil menikmati goyangan motor yang mulai tidak karuan. Kadang sesekali kaki tergelincir, membuat keseimbangan kendaraan susah terkendali. Seandainya saja persendian ini bisa bicara, mungkin ia akan berteriak untuk menghentikan perjalanan. Namun yang pastinya seluruh badan sungguh terasa encok.
Setelah melewati jalan panjang yang melelahkan tersebut, kami akhirnya tiba dimasjid Indotani pada pukul 13.00 WIB. Menarik bukan setelah mendengar nama tempat ibadahnya? Disinilah, kami harus beristirat panjang akibat hujan yang datang tiba- tiba.
Ditengah bunyi rinai hujan, saya bersandar didinding masjid sambil meluruskan kaki. Dari sekian rute yang kami lalui, jalur barusan adalah jalur yang paling bermasalah. Bukan hanya menyusahkan kami saja, tapi juga para pengguna kendara lainnya. Jadi jangan heran jika dijalanan banyak motor dan orang yang berjoget tidak karuan sambil diiringi hentakan bawah mesin menyentuh batu.
Sambil bersantai, saya raba-raba bagian pinggang. Lalu turun ke kaki sambil menekannya. Bukan apa? Takutnya ada engsel yang lepas atau baut yang tanggal. Kan bisa jadi masalah kalau sampai hal tersebut terjadi. Hehe.
Pukul sudah menunjukkan 16.30 WIB. Rasanya sudah sangat lama kami terjebak dalam hujan yang deras. Namun syukurnya kami berteduh di masjid sehingga bisa meluruskan badan sekalian mengisi daya ponsel. Saya menatap jendela, memperhatikan sebuah warung yang membuat perut semakin terasa lapar.
Tidak lama kemudian, derasnya air yang turun kebumi mulai berkurang. Tanpa membuang waktu lagi, kami pun langsung bergegas melanjutkan perjalanan. Belum jauh dari arah masjid Indotani, kami sudah berhadapan dengan macetnya jalan. Dihadapan kami sudah berantrian kendaraan yang melalui jembatan sementara dari arah seberang. Disisi kanan, terlihat kesibukan para pekerja yang sedang melaksanakan tugasnya.
Lagi-lagi air dari langit turun deras, yang seakan-akan mengolok perjalanan kami. Kendaraan pun menepi disebuah warung tak jauh dari lokasi pembangunan jembatan. Tidak ada nama warungnya, tapi yang pastinya tempat ini bisa melindungi kami dari guyuran hujan sekaligus tempat persinggahan untuk mengisi perut yang sudah lapar.
"Pak, mau beli nasi." Saya memanggil bapak pemilik warung yang sedang duduk bersandar dikursi panjang.
"Silahkan dek, ambil sendiri makanannya." Bapak tua yang umurnya saya prediksi sekitar 60 tahun tersebut mempersilahkan kami.
Tanpa merasa canggung, saya langsung membuka tirai etalase. Tidak banyak lauk pilihan yang ada disana. Hanya ada ikan, telur dadar, tempe, sayur dan sambal. Saya setengah berteriak kearah bapak, untuk menanyakan ikan apa yang sedang terhidang. Bapak tersebut berkata kalau itu adalah ikan tapa, spesies ikan air tawar yang banyak ditemukan disungai Kalimantan. Oi, sudah lama tidak mencicipinya.
Potongan Ikan tapah mendarat manis diatas piring. Sejenak saya teringat bagaimana cerita seru tentang spesies air tawar ini. Dulu sebelum parit tercemar, untuk mendapatkan ikan ini sangatlah mudah. Tinggal turun keparit saja sambil menangguk dibawah pohon nipah sudah dapat tiga sampai empat ekor. Jika beruntung malah bisa lebih banyak. Kalau sekarang? Sudah sangat susah, setelah pendangkalan dan pencemaran air semakin merajalela. Namun dibeberapa tempat, keberadaan ikan ini masih sangat terjaga kelestariannya.
IDR 25K |
Saya sangat lahap menikmati makanan tersebut. Apalagi ditengah derasnya hujan yang sedang mengguyur Sungai Melayu. Belum lagi dalam satu hari ini kami hanya sekali makan, itupun menunya adalah mie instan. Memang betul apa yang dikatakan orang, nikmatnya makanan itu akan sangat terasa ketika lapar sedang mendera.
Hari semakin sore. Langit mulai terlihat redup bersama jutaan tetesan hujan yang membasahi bumi. Saya mulai khawatir apakah malam ini akan tiba di Kota Ketapang? Jika tidak, tentu kacau balaulah niat kami yang ingin tahun baru disana. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan disaat hujan tidak terlalu lebat.
Membawa motor disaat hujan bisa dikatakan enak-enak susah. Enaknya jalan terlihat lebih lengang dan bisa mencicipi minuman gratis lagi segar. Susahnya adalah jarak pandang semakin berkurang dan mendapatkan serangan dibagian wajah. Iya, air hujan yang jatuh dimuka tidak ada ubahnya seperti jarum suntik. Ingin menutup kaca helm malah pandangan menjadi gelap. Bisa-bisa kami keluar jalur dan tergelincir direrumputan.
Kendaraan melaju ditengah jalan yang berbasahkan hujan. Siang pun perlahan mulai dilahap gelapnya malam. Sepanjang perjalanan, tak banyak rumah yang dijumpai. Hanya padang rerumputan luas sejauh mata memandang.
Padang rerumputan? Saya langsung teringat dengan cerita teman dikampus mengenai tempat misterius yang ada di Ketapang. Katanya, daerah tersebut bernama padang dua belas yang hanya berisikan tumbuhan rumput. Konon, disitu ada sebuah kerajaan besar yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Penghuninya pun merupakan makhluk ghaib yang orang setempat menyebutnya sebagai orang kebenaran.
Orang kebenaran tersebut memiliki ciri tersendiri, yaitu tidak memiliki garis diantara hidung dan bibirnya. Katanya, jika mereka memberikan kunyit kepada kita maka akan berubah menjadi emas. Tidak hanya itu, kata teman-teman, Rhoma irama sempat mengatakan pernah konser disana. Tetapi yang ditampakkan bukan padang rumput yang luas, melainkan sebuah kota dengan bangunan yang megah. Benar atau tidaknya cerita tersebut, yang pasti ada sisi lain yang tidak kita ketahui.
Saya menyeka air yang mengalir diwajah. Entah beberapa kali air menerobos pelupuk mata yang menyebabkan rasa perih. Dibelakang, Yansah hanya terdiam dengan raut wajah yang pasrah. Menerima kalau hujan tak berkesudahan dan membasahi sebagian pakaiannya. Inilah kesalahan fatal kami yang hanya membawa satu mantel ketika melakukan perjalanan jauh. Itupun mantel baju yang hanya bisa digunakan satu orang.
Langit sudah benar-benar gelap. Tidak ada lampu lain yang menerangi jalanan kecuali lampu kendaraan. Rumah penduduk pun belum ada yang telihat. Hanya rinai-rinai hujan yang menari didekapan cahaya. Saya melihat kearah jam tangan, tahu kalau sekarang sudah waktunya maghrib.
Laju motor diperlambat. Bukan karena jalanan yang semakin susah atau kami ingin mencari tempat persinggahan, melainkan karena sebuah kendaraan didepan kami. Kendaraan tersebut tidak berlampu dan merayap pelan dipinggiran jalan. Saya pun berusaha menyinarinya dari belakang. Tapi ingat, kami menolong bukan karena ingin mendapatkan kunyit emas. Melainkan karena panggilan rasa kemanusiaan lah yang menggerakkan hati untuk bertindak.
Hujan perlahan mulai redah. Jalanan yang tadinya sepi oleh kendaraan sekarang lebih ramai. Kami tiba di Kota Ketapang kurang lebih pada pukul 20.00 WIB. Laju motor semakin melambat akibat banyaknya volume kendaraan. Terlebih anak-anak muda yang membawa kendaraan semaunya saja, seolah-olah punya nyawa tiga. Yang sudah berkeluarga pun tidak mau kalah, mereka terlihat antusias menyiapkan pembakaran dihalaman depan rumah. Bahkan ada yang saling adu musik dangdut, yang jaraknya hanya di pisahkan satu rumah.
Hiruk-pikuk semakin terlihat ketika masuk dikawasan pasar. Tidak hanya cafe-cafe yang memanen rezeki pada malam ini, tetapi juga para pedagang kaki lima yang menjual atribut malam tahun baru dan makanan. Tidak jauh dari kami juga terlihat seorang anak kecil yang sedang merengek untuk minta dibelikan terompet. 'ayo ma, belikan saya satu', kurang lebih begitulah maksud raut wajah si kecil.
Dari jauh sudah tampak jembatan Pawan 1 yang menghubungkan kedaerah seberang. Kendaraan yang akan lewat tidak ada ubahnya seperti semut yang sedang berjalan. Diatas jembatan saya bergumam dalam hati 'akhirnya tiba juga di pusat Kota Ketapang'. Oh Sungai Pawan, dulu saya hanya bisa mendengar namamu ketika dinyanyikan. Namun sekarang keindahanmu sudah ada didepan mata, bercahayakan lampu malam yang sungguh mempesona. Saya tersenyum-senyum sendiri, sampai tidak sadar kalau didepan sudah berdiri tugu ale-ale, maskotnya Kota Ketapang.
Baca juga:
Perjalanan Panjang Menuju Ketapang Part 1
Perjalanan Nekat ke Perbatasan Indonesia Malaysia
EmoticonEmoticon