Langit mulai mendung. Awan hitam yang ada diufuk barat kini berarak menuju atas kampung, membungkam cahaya mentari. Dari jauh, terdengar suara deruan yang semakin lama semakin mendekat dan besar. Ya, itu adalah suara tetesan air hujan yang jatuh menimpa atap rumah, menerpa pepohonan dan membasahi permukaan jalanan.
Diteras rumah, saya duduk lesehan sambil bersandar disebuah tiang. Memperhatikan seberapa deras air yang terjun dari atas seng. Selebihnya menatap betapa luasnya kolam renang pribadi yang ada didepan rumah, yang adanya kalau musim penghujan tiba. Alias banjir.
Hujan sekarang ini memang agak sulit untuk diprediksi. Kadang tiada angin dan petir, eh tiba-tiba air dari atas sudah netes. Seperti sikapmu kepadaku. Yang mudah berubah tanpa ada sebab apapun. Kamu memang begitu. Eak..
Tapi ngomong-gomong, semenjak beberapa hari setelah lebaran kemarin, kampung saya dianugerahi kelebihan air. Jika hari-hari yang lalunya selalu konsisten mencapai selutut orang dewasa, maka sekarang sudah mencapai sepaha. Yah wajarlah, hujannya selalu senang mampir. Deras lagi.
Akibat dari banjir tersebut tentunya banyak hal yang dirugikan. Pertama adalah tanaman sayur saya menjadi layu akibat kelebihan air. Bukan hanya saya juga sih yang dirugikan, tetapi juga milik masyarakat lainnya. Bayangin saja jika akar pepohonan direndam selama satu bulan, yang ada pohon menjadi kurus tak berbuah bahkan mati.
Selain itu, orang-orang juga pada ribut karena rumah pada digenangi air. Apalagi kampung-kampung yang ada dibagian hulu yang banjirnya lebih parah. Bahkan jalanan pun tak luput darinya. Kalau boleh dikata, ini adalah lockdown sesi dua. Jika lockdown sebelumnya kami bisa menyempatkan diri pergi kekebun untuk memanen hasil tanaman, sedangkan sekarang tidak. Jika nekat untuk kekebun, yang ada malah kami masuk ke parit karena tidak terlihat oleh banjir. Atau disapa oleh aneka ular yang sedang bergelayutan diatas pohon. Tidak lucu juga kan kalau kejadiannya kayak gitu?
Tapi meskipun begitu, kita tentunya tidak boleh berburuk sangka kepada Tuhan. Apalagi sampai membanting piring didapur terus menangis dibawah shower. Yakinlah, segala sesuatu yang terjadi selalu ada hikmah dan pelajarannya. Terus hubungannya dengan rumah tempo dulu apa Daeng?
Iya sabar, baru saya mau ceritakan.
Disaat lagi serius memperhatikan banjir yang semakin meninggi sekaligus berharap ada bidadari yang turun mandi, eh tiba-tiba kakak dari dalam keluar membawa album foto.
"Coba lihat nih!" Kakak menunjukkan sebuah foto.
"Foto na nigae?" Saya bertanya menggunakan bahasa dari planet Yupiter. Intinya menanyakn foto siapa itu.
"Foto na Uwak waktu kalolo." Kakak menjelaskan dengan bangga.
Foto yang diperlihatkan diatas adalah foto bapak selagi muda, sebelum menikah. Saya pun segera menutup mulut yang ternganga, sebelum lalat semakin banyak hinggap digigi.
Album tersebut lantas saya bawa masuk kedalam. Dari covernya, terlihat sudah begitu kumal. Sudah terlihat berwarna kuning dan robek dipinggir-pinggirnya. Perlahan, saya buka halaman perhalaman.
Foto-foto tersebut tidak memiliki warna, hanya hitam putih saja. Ciri khas dari foto zaman waktu dulu. Tidak hanya berisikan gambar-gambar pose Uwak (bapak) saya saja, melainkan juga ada kakek dan nenek. Disisi lain, satu dua foto sudah mulai rusak.
Meskipun tidak menampilkan warna yang fulgar, foto-foto zaman dulu itu sangat unik. Malah bagi saya terkesan sebagai barang antik, yang harus selalu dijaga keberadaannya. Rata-rata gaya fotonya juga masih klasik, hanya menegakan badan dan menatap fokus ke bagian kamera. Tidak ada yang berfoto dengan gaya dua jari, apalagi sampai memonyong kan bibir, pose alay cabe-cabean zaman sekarang. Gaya paling keren saat itu mungkin hanya bercekak pinggang.
Dari sekian foto, saya tertarik dengan gambar yang ada dibawah ini.
Sebelum trend A. Rafik menyerang |
Bukan! Bukan! Anak kecil yang telanjang dada itu bukan saya. Uwak saya saja saat itu masih perjaka alias belum menikah. Nah diatas adalah salah satu foto diera 60/70 an. Hal yang membuat saya kagum adalah adanya rumah tempoe doeloe dibelakangnya, bukan kerennya tampilan mereka yang mirip pemain GGS. Genit-genit selalu...
Tapi tolong jangan fokus ke bagian jendelanya ya. Maklum, setelah foto ini diposting di media sosial, ada yang komen kalau ada penampakan dijendelanya. Enak saja sembarangan ngomong. Itu orang tdan merupakan pemilik rumahnya (padahal sembelum dikasih tahu Uwak, saya juga sempat keceplosan begitu, hehe).
Seperti yang diketahui, rata-rata rumah tempo dulu itu adalah rumah panggung. Sebuah rumah yang yang dasarnya tidak menempel ke tanah. Atau dengan kata lain memiliki tiang bawah yang tinggi. Jadi kita bisa lari-lari dibawahnya atau duduk bersantai sambil menikmati segelas kopi.
Nah membicarakan rumah tradisional tentu tidak akan lepas dengan yang namanya perkembangan zaman. Dari rumah yang tempo dulu tentu berbeda yang tempo sekarang. Paling yang bertahan adalah rumah adat yang keberlangsungannya dijaga oleh pemerintah setempat. Sisanya sudah berubah ke yang lebih moderen.
Dari zaman ke zaman, bentuk rumah itu selalu berevolusi. Dari yang dulunya tiang bawahnya mencapai dua meter, perlahan-lahan ketinggiannya menurun satu meter. Tidak lama kemudian menjadi setengah meter dan pada sampai akhirnya tidak memiliki tiang alias dasar rumahnya langsung menempel ketanah (katanya sih ini adalah rumah yang moderen). Bahkan tidak jarang, ketinggiannya hanya satu jengkal dari tanah.
Saya jadi penasaran bagaimana rumah dimasa yang akan datang? Mungkin permukaan lantainya sudah lebih rendah dari permukaaan tanah. Begitu hujan besar tiba-tiba datang, langsung deh jadi kolam renang indoor. Didepan rumah sudah terpampang baliho 'KOLAM RENANG MURAH'.
Sekarang bisa dilihat, berapa banyak rumah yang terdampak oleh banjir. Lantai digenangi air, berbagai perabotan rumah pun tak luput darinya. Yang rugi siapa juga? Ingin berharap bantuan dari pemerintah? Paling hanya berupa sembako. Mana pula mau membelikan kulkas yang rusak akibat kerendam banjir
Nah, itu adalah salah satu dari keunggulan rumah tempo dulu yang umumnya masih berbentuk panggung. Ketika banjir datang tidak perlu merasa khawatir. Khawatir pun paling karena memikirkan keadaan padi diladang yang terendam air. Tapi itu dulu.
Selain terhindar dari banjir, rumah panggung tempoe doeloe juga didesain untuk menghindari dari binatang liar. Seperti dinosaurus, tyronnasurus, ankylosaurus dan sagitarius. Barusan binatang apa ya? Yah pada intinya rumah yang tinggi akan menghindarkan kita dari binatang buas. Tidak lucu juga kan, pas asik-asiknya mimpi basah, tiba-tiba disamping sudah ada macan yang lagi ngiler. Akhirnya basah benaran dah...
Kolong rumah yang tinggi juga digunakan untuk banyak hal. Seperti tempat untuk berinteraksi dengan warga, menumbuk padi (ini saat zaman bahula), dan menyimpan berbagai barang perkakas pertanian. Bahkan ada juga yang menggunakannya sebagai tempat ternak hewan.
Karena masih membicarakan rumah tempo dulu, saya jadi teringat akan masih kecil. Saat itu masih ada rumah panggung yang tinggi kolongnya mencapai dua meter. Rumah itu adalah rumah alm. Tok Useng (Tok Husein). Jadi kalau berkunjung kesana bisa berlari-lari dibawahnya. Jendela-jendelanya yang besar membuat diri leluasa untuk melihat pemandangan sawah yang luas. Bisa dibayangkan bagaimana serunya bersantai diatas rumah panggung dengan terpaan angin sepoi-sepoi? Belum lagi atapnya menggunakan atap sirap yang membuat didalamnya terasa adem meskipun matahari lagi paas bedengkang.
Mungkin hal-hal itulah yang membuat saya rindu akan rumah tempo dulu. Tabe'...
EmoticonEmoticon