Dua sosok itu saling tatap dengan penuh amarah. Didalam kain, arena yang begitu sempit mereka saling adu kekuatan. Bahkan, masing-masing mencabut kawali, badik Bugis yang begitu sakral. Setelah beradu sengit, satu diantara mereka jatuh bersimbah darah. Sigajang Laleng Lipa, itulah sebutan untuknya. Pertarungan didalam kain yang akan dilakukan ini ketika musyawarah mengalami jalan buntu.
Atraksi Seni Sigajang Laleng Lipa Oleh masyarakat Bugis di Tanah Rantau |
Saat itu sudah pukul 11.30 WIB, acara mappabotting atau akad nikah sebentar lagi akan selesai. Tenda yang begitu panjang penuh dengan para tamu sungguh terasa panas. Apalagi disekelilingnya ditutup terpal dan baru selesai makan membuat keringat terasa mengalir deras dibadan.
Disana, dipertengahan lorong tenda tampak serombongan orang datang dengan memakai atribut Bugis. Satu orang diantara mereka, sambil memegang mic memberikan abah-abah agar dibagian tengah dikosongkan. Terlebih mesti jauh dari jangkauan anak-anak. Tak lama, pemandu tersebut mengatakan bahwa akan diadakan atraksi sigajang laleng lipa.
Sontak, hal tersebut langsung memancing perhatian para tamu. Yang jauh pada mendekat dan yang dekat pada merapat. Bahkan yang sedang makan pun mempercepat gerakan, takut jika tidak bisa menyaksikan. Hanya hitungan menit, rombongan tadi telah hilang dikerumun massa, menyisakan suara yang bergema di lorong tenda.
Karena tak ada yang bisa dilihat, saya pun memutuskan untuk berdiri, merengsek menuju kerumunan tersebut. Perlahan-lahan menyelip diantara himpitan para tamu agar bisa melihat arena. Hingga akhirnya, tampak dua orang berpakaian merah dan menggunakan passapu' dikepala. Mereka dimasukkan kedalam kain yang berwarna putih yang nantinya menjadi tempat untuk bertarung.
Sebelum dilaksanakan atraksi sigajang laleng lipa, tentunya semua para peserta, baik itu yang bertarung hingga para penabuh gendang sebelumnya dilakukan ritual terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar kegiatan yang akan dilaksanakan kedepannya berjalan lancar. Tidak lupa juga, do'a kepada Tuhan dipanjatkan, Sang Pemilik Segalanya.
Atraksi pun segera dimulai. Pemandu meneriakkan jargon "FKOB..." Kemudian disambut yang lainnya dengan jawaban "ewako..." Sebuah kalimat penyemangat bagi orang-orang Bugis.
Alat-alat musik pun dimainkan. Kedua petarung saling menyilangkan tangan, tanda bahwa prosesi akan segera dimulai. Perlahan-lahan mereka mulai beradu, saling memukul saling memukul. Tidak hanya kekuatan tangan yang pusatkan, kekuatan kaki juga mesti dipertahankan, agar badan tetap selalu seimbang. Terlebih ketika mengalami serangan dari pihak lawan.
Sigajang laleng lipa berasal dari bahasa Bugis, yang berarti saling tikam didalam sarung, atau bahasa halusnya 'bertarung didalam sarung.' Dengan menggunakan kawali, mereka akan saling menghunus hingga sampai akhir perjuangan. Mereka akan dinyatakan kalah apabila keluar dari dalam kain, menyerah, hingga meninggal dunia.
Dulunya, sigajang laleng lipa dilakukan oleh para bangsawan. Perhelatan ini dilaksanakan ketika antara dua insan yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dari sebuah masalah. Karena saling mempertahankan siri' atau harga diri, akhirnya duel dalam sarung diadakan.
Sigajang laleng lipa tentunya tidak sembarangan saja dilakukan. Untuk sampai ke titik ini tentunya ada tahap-tahap yang mesti dilewati. Bagi masyarakat Bugis dalam penyelesaian masalah ada tiga cara yang lebih dikenal dengan tellu cappa' (tiga ujung).
Yang pertama adalah cappa' lilla, atau ujung lidah. Cara ini adalah cara umum yang sering dilakukan dalam penyelesaian masalah. Disini kedua belah pihak yang bertikai akan berbincang untuk mencapai mufakat. Baik itu perundingan, negosiasi ataupun musyawarah.
Kedua adalah cappa laso, atau ujung kemaluan. Jalan ini ditempuh ketika jalan pertama menuai kebuntuan. Bagi masyarakat Bugis, memiliki seorang gadis adalah seperti memiliki permata yang begitu berharga. Sehingga dengan jalur pernikahan ini bisa mempersatukan mereka dalam ikatan keluarga.
Ketiga adalah cappa kawali, atau ujung badik. cara ini adalah pilihan terakhir ketika kedua opsi diatas tidak bisa diselesaikan dengan bijaksana. Disinilah, dua orang yang bertikai akan bertarung menggunakan badik.
Penggunaan sarung sebagai sarana sekaligus arena tentunya memiliki makna yang begitu dalam. Diharapkan, semua permasalahan yang telah masuk kedalam sarung pantang untuk dibahas lagi diluar. Semuanya telah berkahir didalam sarung. Terlebih, bagi masyarakat Bugis sarung adalah simbol pemersatuan.
Kedua petarung tersebut pun semakin gesit beradu. Hingga akhirnya, masing masing menarik kawali dalam sarung. Ruangan makin terasa hening disaat salah satu melancarkan serangan. Terlebih, suara teriakan ibu-ibu yang terkejut dan diiringi alat musik semakin membuat mencekap.
Setelah berduel cukup lama, dan darah pun sudah tampak muncrat dikain, akhirnya satu diantara mereka tumbang. Sedangkan yang satunya menganngkat kawali, bukti bahwa dia adalah pemenang. Sekejap, pihak panitia segera membawa petarung yang kalah didalam rumah.
Sekedar informasi, sigajang laleng lipa yang dilakukan diatas hanyalah sekedar atraksi yang dilakukan oleh PAC Forum Komunikasi Orang Bugis Desa Kuala Dua. Jika dulunya hal tersebut begitu sakral dilakukan, maka untuk sekarang sigajang laleng lipa lebih ditampilkan sebagai seni.
EmoticonEmoticon