Berbicara wisata yang ada di Kabupaten Bengkayang tentunya tidak perlu diragukan lagi. Mau wisata apa saja semuanya bisa ditemukan disini. Mulai dari wisata bahari, alam, hingga budayanya semua sudah lengkap. Nah, salah satu tempat yang baru saja saya kunjungi adalah Riam Merasap, air terjun yang bentuknya mirip Niagara Falls di Amerika.
Kayang dengan view Riam Merasap |
Perjalanan dilanjutkan kembali setelah beberapa kali sempat berteduh karena hujan. Jalanan yang basah dan kadang licin, membuat kami harus lebih berhati-hati. Terlebih medan yang sedang kami lalui lebih sering naik turun, lalu membelok tanpa ampun. Topografi pedalaman dengan hamparan perbukitan membuat jalur perjalanan sedemikian rupa. Jika hilang kendali, maka bisa saja kami menabrak tebing atau terguling di dipinggir jurang.
Meskipun merupakan jalur provinsi, namun jalanan yang kami lalui tampak begitu lengang. Untuk kendaraan besar yang kami temui boleh dihitung pakai jari. Mungkin jalur ini lebih dikhususkan untuk perjalanan pribadi ketimbang untuk mengangkut barang-barang pergudangan. Atau mungkin saja memang belum waktunya mereka lewat. Tapi syukurlah, dengan sepinya jalan membuat kami lebih legah untuk menikung dibawah kaki bukit. Oh iya, jalur yang kami lewati adalah Anjongan-Toho. Cek juga cerita sebelumnya disini.
Jalanan yang semulanya terang kini mulai gelap ditelannya malam. Disaat itu juga, kami melewati sebuah gerbang yang merupakan pembatas antara Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang. Tidak ada waktu lagi untuk mampir berfoto digapura tersebut, apalagi telah berlangsung adat balala'.
Jalanan Bengkayang tidak ada ubahnya dengan jalan-jalan sebelumnya. Naik turun, belok kiri-kanan dengan tebing dan jurang disisinya. Untuk kondisi jalannya jangan ditanyakan lagi, mulus seperti iklan di TV. Hanya saja melakukan perjalanan malam itu bagi saya kurang menyerukan. Pertama adalah kita tidak bisa melihat bagaimana pemandangan alam disekitar perjalanan yang dilalui. Kedua adalah ngantuk yang datangnya kadang secara tiba-tiba. Terlebih saat itu saya hanya sendirian, tanpa ada boncengan dibelakang. Tidak ada teman untuk diajak bicara, mau tidak mau nyanyi sendirian.
Meskipun jalanan cukup sepi, namun kehati-hatian dalam berkendaraan mesti tetap diperhatikan. Apalagi kita adalah pengunjung dan belum mengenal medan. Jarak dengan kendaraan didepan juga perlu dijaga, jangan terlalu dekat meskipun mereka adalah rombongan kita. Seperti yang saya alami, saat itu tiba-tiba kendaraan didepan mengerem mendadak. Meskipun jarak saya dengan mereka cukup jauh, namun dikarenakan lokasi yang licin akibat lumpur dari bukit turun mengakibatkan motor oleng. Alhasil saya hampir jatuh dan menabrak mereka.
Selain itu, jalanan yang dilewati sebagian besar adalah perkampungan dengan deretan bangunan penduduk. Rumah mereka betul-betul tidak jauh dari pinggir jalan. Nah, kalau ketemu seperti ini alangkah lebih baiknya kelajuan dikurangkan. Takutnya ada masyarkat setempat yang lagi sedang menyeberang.
Kurang lebih 45 menit perjalanan dari Tikalong (hanya ini nama yang diingat) kami pun tiba disebuah pasar. Beruntung salah satu rekan, Bang Zai, tahu betul seluk beluk Kota Bengkayang sehingga tidak perlu lagi melihat google map atau bertanya kepada nasyarakat. Kendaraan pun menyeberang diatas jembatan, lalu belok masuk diantara bangunan ruko. Ternyata luas juga pasar yang ada di Bengkayang.
Ini belum akhir perjalanan, untuk sampai di Riam Merasap masih memakan waktu kurang lebih dua jam.
Sebelum lanjut ke Riam Merasap, kami memutuskan untuk mampir dulu di Masjid Agung Syuhada Bengkayang. Bangunan masjid ini tampak begitu elok dengan desain tempo dulu. Ketimbang masjid perkotaan yang rata-rata bangunannnya sudah modern dan meninggalkan ciri khas awalnya. Entah kenapa, bagi saya bangunan yang mempertahankan tema klasik itu lebih terlihat menarik. Apalagi dibalik berdirinya menyimpan sebuah cerita. Terasnya yang luas juga cocok digunakan untuk istirahat bagi teman-teman yang sedang melakukan perjalanan jauh.
Warung makan pinggiran jalan juga menjadi tempat persinggahan kami sebelum melanjutkan perjalanan. Selain mengisi kampung tengah, disini juga kami menghabiskan waktu untuk beristirahat sejenak. Terlebih Bang Zai, sebagai seorang jurnalis mesti menulis berita dahulu. Sedangkan saya dan Bang Jono betul-betul memanfaatkan sinyal yang ada untuk bermain sosial media. Mumpung masih ada jaringan sebelum masuk semakin ke pedalaman.
Perjalanan dilanjutkan kembali. Hujan dan gerimis yang sempat menemani perjalanan kami sebelumnya kini berganti dengan cuaca yang lebih bersahabat. Semoga saja tidak ada lagi cerita diguyur hujan. Masih didalam perkotaan, ditengah kegelapan malam terlihat dua tempayan besar berdiri kokoh di sebuah pintu gerbang. Didalamnya tampak sebuah rumah panggung yang tidak terlalu jelas. Mungkin itu merupakan rumah adat Dayak dan akan disinggahi nanti sepulangnya.
Kami menerabas jalanan diantara heningnya malam. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat dalam kegelapan. Bukit dikejauhan yang tampakpun hanya dalam bentuk siluet, entah hijau ditumbuhi pohon atau malah gersang. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin berat pula rasanya medan yang dilalui. Jalur semakin naik turun, berkelok-kelok dibawah kaki bukit. Tapi itulah yang membuat perjalanan ini semakin terasa seru.
Sesekali kami berpas-pasan dengan mobil lain yang kadang mengejutkan. Bagaimana tidak? Disaat kami fokus dengan tikungan yang dilalui, eh tiba-tiba saja dia muncul dengan lampu tembak. Sontak membuat pemandangan buyar, jika tidak betul-betul malah kami bisa menyerempet tebing bukit. Semoga saja perjalanan ini tetap aman.
Oh iya, sebelum melanjutkan perjalanan malam alangkah lebih baiknya untuk memperhatikan beberapa hal. Pertama keadaan stamina dan kedua adalah keadaan bahan bakar. Bukannya apa, kalau sudah malam tentunya sulit untuk mencari penjual bensin. Tidak lucu juga kan harus mendorong kendaraan disaat keadaan jalan yang mendaki. Capek euy...
Perjalanan kembali berhenti saat sampai di Sanggau Ledo (sumpah, dulu kalau dengar nama tempat ini saya kira berada di Kabupaten Sanggau). Kami singgah di indomaret untuk membeli air mineral, persiapan di Air Terjun Merasap. Kata teman, sebenarnya tidak perlu membawa air lagi karena disana sudah melimpah. Namun bagi teman yang satunya lagi mesti dibawa, dengan alasan belum tentu cocok diliur dan perut. Bagi saya sendiri, semuanya tinggal diatur saja mana yang lebih baik. Haha...
Setelah keperluan terpenuhi, perjalanan menuju Riam Merasap kembali dilanjutkan. Ketika sampai dipersimpangan tiga, maka jalur yang dipilih adalah kanan untuk menuju lokasi. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalur menuju Jagoi Babang. Kami melewati pasar dengan deretan ruko yang masih tampak klasik. Sepertinya bangunan tersebut dibuat pada tahun 80-an. Ah, sok tahu.
Belum lama meninggalkan pasar sanggau ledo, jalanan yang semula beraspal mulus kini harus berganti dengan jalan bebatuan (jalanan beraspal yang rusak). Tapi terlepas dari itu semua, jalanan yang dilewati ini masih aman dan bersahabat untuk pengunjung. Apalagi kami telah dimanjakan jalan bagus sepanjang ratusan kilo. Rasanya kurang bersyukur saja kalau mengeluh. Tapi kalau jalanan disini diperbaiki lagi itu malah lebih baik.
Selain bunyi percikan batu dan kendaraan, kedatangan kami juga disambut suara binatang-binatang malam. Dari bunyinya terdengar jelas bahwa itu suara burung, sang pengembara ditengah kegelapan. Selain itu terdengar pula ragam jenis suara bangsa jangkrik, dan bunyi selebihnya saya tidak tahu. Kurang lebih 7 kilo perjalanan bebatuan, akhirnya kami sampai di area tujuan, Air Terjun Riam Merasap. Sekarang suara yang mendominasi adalah suara air terjun.
Belum sempat turun dari kendaraan, sebuah motor tiba-tiba datang mendekati kami. Ah, siapa pula malam-malam begini mendatangi kami. Sebagai pendatang, tentu saja berspekulasi hal yang aneh-aneh sangat wajar. Saya mulai berpikir kalau beliau adalah kelompok preman yang meminta jatah untuk rokok. Atau bisa saja dia adalah perampok yang membawa senjata tajam dan akan menodong kami.
"Akhirnya sampai juga, ya." Orang tersebut menyapa kami, lalu menunjukkan tangan untuk bersalaman.
"Oh, Bang Abum. Iya bang, akhirnya sampai juga. Tadi sempat lama di Bengkayang." Bang Zai menjawab sapaan orang tersebut.
Setelah menyalami kami satu-persatu dan sedikit berbincang, Bang Abum lalu mengajak naik keatas, lokasi dimana kami akan berkemah. Sebuah gapura bambu dengan warna dominan merah menyambut kedatangan kami, diiringi suara gemericik air terjun. Diatasnya tergantung sebuah spanduk ucapan selamat datang berukuran 1x2 meter. Tidak perlu lama untuk mendaki, akhirnya kami sampai di sebuah pondok yang sekaligus juga merupakan basecamp Bang Abum.
Saat itu sudah jam 22.40 WIB. Rencana semula yang ingin memasang tenda di pinggiran sungai harus diubah ke sebuah pondok. Ini dikarenakan waktu yang sudah malam dan membuat kami tidak tahu bagaimana bentuk medan di lokasi. Jujur saja, saya masih berharap kalau tenda betul-betul dipasang dialam terbuka, biar kesan camping-nya lebih terasa. Tapi ya sudahlah, mendahulukan keamanan dan keselamatan itu lebih utama.
Demi Pencahayaan |
Kami pun menuju ke sebuah pondok yang tak jauh dari pondok sebelumnya. Disini, dan tanpa membuang waktu lagi tenda yang dibawa langsung dipasang. Disisi lain, Bang Abum dan adiknya sibuk mengurus aliran listrik ketempat kami. Entah beberapa kali percobaan dilakukan, mengotak-atik kontak listrik hingga bisa menghidupkan sebuah lampu. Sebenarnya, tanpa adanya cahaya lampu pastinya akan lebih seru untuk tidur dialam bebas. Hanya saja salah satu rekan tidak bisa terlelap jika dalam kegelapan. Baiklah...
Tidak perlu waktu lama, tenda mungil milik kami telah berdiri dengan begitu anggun. Begitu pula hammock juga telah terpasang, terikat kuat ditiang kayu. Sungguh, melihat tenda yang berdiri diatas pondok mengundang tawa. Bagaimana tidak, jauh-jauh melakukan perjalanan ternyata ujung-ujung kemahnya beginian. Dan ini adalah pertama kali saya melakukannya.
Tenda telah berdiri dan lampu telah menyala, sekarang adalah waktunya tidur. Eh salah, maksud saya adalah ngobrol santai sama Bang Abum. Orang yang sebelumnya saya anggap berniat jahat. Mohon maaf bang, ini semua karena efek perjalanan panjang dan kecapean.
Meskipun tidak ditemani kopi, namun obrolan malam itu terasa begitu hangat. Tapi ada beberapa snack dan satu botol besar air mineral. Disini kami semakin kenal dengan Bang Abum, salah satu pengelola dari Riam Merasap. Sosok yang begitu ramah ini ternyata juga merupakan ketua dari PokDarWis, kelompok sadar wisata.
Dari cerita Bang Abum, kami jadi tahu banyak hal mengenai Riam Merasap. Mulai dari asal mula namanya, usaha untuk mempromosikannya hingga bagaimana menjaga kelestarian sekitarnya. Termasuk membongkar bangunan dipinggiran sungai yang dianggap merusak nilai keindahan air terjun itu sendiri. Setelah cukup lama berbincang, bang Abum pamit mengundurkan diri.
Oh iya, disini juga disediakan penginapan bagi para pengunjung yang ingin bermalam. Biaya permalam dikenakan tarif sebesar 200.000 rupiah untuk kapasitas maksimal 5 orang. Lalu apa saja fasilitasnya? Disini pastinya tersedia kasur dan kipas angin. Kalau mau merasakan AC tunggu saja saat tengah malam, pendingin alami. Harga segitu itu sudah termasuk murah untuk ditempat wisata yang jauh dipedalaman.
Hadirnya lampu membuat Bang Jono terlihat agak rempong. Entah beberapa kali beliau memindahkan posisi lampu agar posisinya menerangi semua wilayah. Saya yang kurang suka terlalu terang jika tidur dan dia yang tidak bisa dalam kegelapan membuat kami sempat cekcok ringan, lebih tepatnya musyawarah untuk mencapai mufakat. Hingga akhirnya saya mengalah menuruti kemauannya. Atur sajalah, asal jangan lampunya diatas wajah saya.
"Jalan-jalan kebawah yok, Daeng." Bang Zai yang saat itu sedang berayun di hammock mengajak turun kebawah, sungai.
Saya yang saat itu sudah merasa capek tentu saja menolak. Lagian ngapain juga kebawah malam-malam begini, tidak ada yang bisa dilihat. Walaupun ujung-ujungnya kami semua turun gara-gara ingin gosok gigi. Didalam perjalanan, tampak samar-samar jurang yang begitu dalam. Disanalah, letak sebenarnya air Merasap berada.
Kami kembali kepondok dengan membawa sekantong air, persiapan jika disaat tengah malam tiba-tiba kebelet pipis. Disini pastinya telah disediakan toilet, hanya saja pada saat itu airnya menipis. Takut juga jika saja mendadak ingin boker.
Saya dan Bang Jono memilih tidur didalam tenda, sedangkan Bang Zai memutuskan di hammock. Tidak perlu menunggu lama atau harus dinyanyikan lagu nina bobo, saya sudah terlelap diantara merdunya gemericik air terjun. Tidak peduli seberapa dingin saat itu, kelelahan perjalanan panjang membuat saya begitu nyenyak.
Hingga akhirnya, suara tenda dibuka membuat saya terbangun. Itu adalah Bang Zai yang sudah tidak tahan lagi dengan pendingin alam, makanya dia masuk bergabung dengan kami. Sontak, suara percakapan memenuhi ruangan. Dari sekian percakapan, terdengar jelas keluhan Bang Jono yang tidak bisa tidur sedari awal. Saya yang saat itu ngantuk lebih memilih untuk diam, berusaha untuk melanjutkan tidur yang sempat terputus sebelumnya. Saya tahu, ada sesuatu hal yang sedang dirasakan Bang Jono.
Lagi-lagi saya terlelap dalam tidur. Suara gemericik air terjun dibawah malah sempat dikira hujan lebat. Meskipun tidur terasa cukup nyenyak, bukan berarti suara percakapan didalam tenda hilang begitu saja. Samar-samar, suara keributan sempat terdengar membahas permukaan tenda bagian dalam yang basah. Hei, itu bukan bocor! Melainkan terjadinya peristiwa kondensasai, yaitu perubahan uap atau gas menjadi cair.
Camping ecek-ecek-an |
Hingga akhirnya, saya bangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Kau tahu, sampai pagi Bang jono tetap terjaga dari tidurnya.
EmoticonEmoticon